PENGERTIAN HADITS
Hadits
adalah segala perkataan (Sabda), perbuatan dan ketetapan dan
persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun
hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan
sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana
dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah
Al-Qur'an.
Para
muhadditsin berbeda pendapat di dalam mendefinisikan al-hadits. Hal itu
krn terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka
masing-masing. Dari perbedaan sifat peninjauan mereka itu lahirlah dua
macam pengertian tentang hadis yaitu pengertian yg terbatas di satu
pihak dan pengertian yg luas di pihak lain.
Ta’rif Hadis yg Terbatas Dalam pengertian yg terbatas mayoritas ahli hadis berpendapat
sebagai berikut. Al-hadits ialah sesuatu yg disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw. yaitu berupa perkataan perbuatan pernyataan dan yg
sebagainya.
Definisi
ini mengandung empat macam unsur perkataan perbuatan pernyataan dan
sifat-sifat atau keadaan-keadaan Nabi Muhammad saw. yg lain yg semuanya
hanya disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. saja tidak termasuk hal-hal
yg disandarkan kepada sahabat dan tidak pula kepada tabi’in.
Pemberitaan
tentang empat unsur tersebut yg disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
disebut berita yg marfu’ yg disandarkan kepada para sahabat disebut
berita mauquf dan yg disandarkan kepada tabi’in disebut maqthu’.
1 Perkataan
Yang dimaksud dengan perkataan Nabi Muhammad saw. ialah perkataan yang
pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang syariat akidah akhlak pendidikan
dan sebagainya. Contoh perkataan beliau yg mengandung hukum syariat
seperti berikut. Nabi Muhammad saw. bersabda Hanya amal-amal perbuatan
itu dengan niat dan hanya bagi tiap orang itu memperoleh apa yang ia
niatkan ,Hukum yang terkandung dalam sabda Nabi tersebut ialah kewajiban
niat dalam seala amal perbuatan untuk mendapatkan pengakuan sah dari syara’.
2 Perbuatan
Perbuatan Nabi Muhammad saw. merupakan penjelasan praktis dari
peraturan-peraturan yg belum jelas cara pelaksanaannya. Misalnya cara
cara bersalat dan cara menghadap kiblat dalam salat sunah di
atas kendaraan yg sedang berjalan telah dipraktikkan oleh Nabi dengan
perbuatannya di hadapan para sahabat. Perbuatan beliau tentang hal itu
kita ketahui berdasarkan berita dari sahabat Jabir r.a. katanya Konon
Rasulullah saw.
bersalat
di atas kendaraan menurut kendaraan itu menghadap. Apabila beliau
hendak salat fardu beliau turun sebentar terus menghadap kiblat. .
Tetapi
tidak semua perbuatan Nabi saw. itu merupakan syariat yg harus
dilaksanakan oleh semua umatnya. Ada perbuatan-perbuatan Nabi saw. yang
hanya spesifik untuk dirinya bukan untuk ditaati oleh umatnya. Hal itu
kenan adanya suatu dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan itu memang
hanya spesifik untuk Nabi saw. Adapun perbuatan-perbuatan Nabi saw. yang
hanya khusus uuntk dirinya atau tidak termasuk syariat yang harus
ditaati antara lain ialah sebagai berikut:
a. Rasulullah
saw. diperbolehkan menikahi perempuan lebih dari empat orang dan
menikahi perempuan tanpa mahar. Sebagai dalil adanya dispensasi menikahi
perempuan tanpa mahar ialah firman Allah sebagai berikut.
.. Dan Kami halalkan seorang wanita mukminah menyerahkan dirinya kepada Nabi bila Nabi menghendaki menikahinya sebagai suatu kelonggaran utk engkau bukan utk kaum beriman umumnya.
b. Sebagian
tindakan Rasulullah saw. yang berdasarkan suatu kebijaksanaan
semata-mata yang bertalian degan soal-soal keduniaan perdagangan
pertanian dan mengatur taktik perang. Misalnya pada suatu hari
Rasulullah saw. pernah kedatangan seorang sahabat yg tidak berhasil
dalam penyerbukan putik kurma lalu menanyakannya kepada beliau maka
Rasulullah menjawab bahwa kamu adalah lebih tahu mengenai urusan
keduiaan . Dan pada waktu Perang Badar Rasulullah menempatkan divisi
tentara di suatu tempat yg kemudian ada seorang sahabat yg menanyakannya
apakah penempatan itu atas petunjuk dari Allah atau semata-mata
pendapat dan siasat beliau. Rasulullah kemudian menjelaskannya bahwa
tindakannya itu semata-mata menurut pendapat dan siasat beliau. Akhirnya
atas usul salah seorang sahabat tempat tersebut dipindahkan ke tempat
lain yang lebih strategis.
c. Sebagian
perbuatan beliau pribadi sebagai manusia. Seperti makan minum
berpakaian dan lain sebagainya. Tetapi kalau perbuatan tersebut memberi
suatu petunjuk tentang tata cara makan minum berpakaian dan lain
sebagainya menurut pendapat yang lebih baik sebagaimana dikemukakan oleh
Abu Ishaq dan kebanyakan para ahli hadis hukumnya sunah. Misalnya Konon Nabi saw. mengenakan jubah sampai di atas mata kaki. .
3 Taqrir
Arti taqrir Nabi ialah keadaan beliau mendiamkan tidak mengadakan
sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan
oleh para sahabat di hadapan beliau. Contohnya dalam suatu jamuan makan
sahabat Khalid bin Walid menyajikan makanan daging biawak dan
mempersilakan kepada Nabi untuk meni’matinya bersama para undangan.
Rasulullah
saw. menjawab Tidak . Berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung
kaumku aku jijik padanya! Kata Khalid Segera aku memotongnya dan
memakannya sedang Rasulullah saw. melihat kepadaku. .
Contoh
lain adalah diamnya Nabi terhadap perempuan yang keluar rumah berjalan
di jalanan pergi ke masjid dan mendengarkan ceramah-ceramah yg memang
diundang untuk kepentingan suatu pertemuan.
Adapun
yang termasuk taqrir qauliyah yaitu apabila seseorang sahabat berkata
aku berbuat demikian atau sahabat berbuat berbuat begitu di hadapan
Rasul dan beliau tidak mencegahnya. Tetapi ada syaratnya yaituperkataan
atau perbuatan yg dilakukan oleh seorang sahabat itutidak mendapat
sanggahan dan disandarkan sewaktu Rasulullah masih hidup dan orang yg
melakukan itu orang yg taat kepada agama Islam. Sebab diamnya Nabi
terhadap apa yg dilakukan atau diucapkan oleh orang kafir atau munafik
bukan berarti menyetujuinya. Memang sering nabi mendiamkan apa-apa yg
diakukan oleh orang munafik lantaran beliau tahu bahwa banyak petunjuk
yg tidak memberi manfaat kepadanya.
4 Sifat-Sifat Keadaan-Keadaan dan Himmah Rasulullah Sifat-sifat beliau yg termasuk unsur al-hadits ialah sebagai berikut:
a. Sifat-sifat
beliau yg dilukiskan oleh para sahabat dan ahli tarikh seperti
sifat-sifat dan bentuk jasmaniah beliau yg dilukiskan oleh sahabat Anas
r.a. sebagai berikut. Rasulullah itu adl sebaik-baik manusia mengenai
paras mukanya dan bentuk tubuhnya. Beliau bukan orang tinggi dan bukan
pula orang pendek..
b. Silsilah-silsilah
nama-nama dan tahun kelahiran yg telah ditetapkan oleh para sahabat dan
ahli sejarah. Contoh mengenai tahun kelahiran beliau seperti apa yg
dikatakan oleh Qais bin Mahramah r.a. Aku dan Rasulullah saw. dilahirkan
pada tahun gajah. .
c. Himmah
beliau yg belum sempat direalisasi. Misalnya hasrat beliau utk berpuasa
pada tanggal 9 Asyura seperti yg diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.
Tatkala Rasulullah saw. berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan utk
dipuasai para sahabat menghadap kepada Nabi mereka berkata ‘Ya
Rasulullah bahwa hari ini adl yg diagungkan oleh orang Yahudi dan
Nasrani.’ Sahut Rasulullah ‘Tahun yg akan datang Insya Allah aku akan
berpuasa tanggal sembilan, Tetapi Rasulullah tidak menjalankan puasa
pada tahun depan krn wafat.
Menurut
Imam Syafii dan rekan-rekannya menjalankan himmah itu disunahkan krn ia
termasuk salah satu bagian sunah yakni sunnah hammiyah. Ringkasnya
menurut ta’rif yg terbatas yg dikemukakan oleh mayoritas ahli hadis di
atas pengertian hadis itu hanya terbatas pada segala sesuatu yg
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. saja sedang segala sesuatu yg
disandarkan kepada sahabat tabi’in atau tabi’it tabi’in tidak termasuk
al-hadits.
Dengan
memperhatikan macam-macam unsur hadis dan mana yg harus didahulukan
mengamalkannya bila ada perlawanan antara unsur-unsur tersebut mayoritas
ahli hadis membagi hadis berturut-turut sebagai berikut.
a. Sunnah qauliyah
b. Sunnah fi’liyah
c. Sunah taqririyah
d. Sunnah hammiyah.
SEJARAH PENULISAN HADIS
A. PENUISAN HADITS
Para
penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam semuanya sependapat
menetapkan bahwa AI-Quranul Karim memperoleh perhatian yang penuh dari
Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabatnya untuk
menghapalkan AI-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu,
seperti keping-keping tulang, pelepah kurma,dibatu-batu,dansebagainya.
Ketika Rasulullah SAW. wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasul sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SA W.
Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadis Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS yang menulis, sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah itu Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda.
Artinya: “Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan.”(HR.Muslim)
Dan mereka berkata kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum.” Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut. Rasulullah kemudian bersabda:
Ketika Rasulullah SAW. wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasul sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SA W.
Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadis Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS yang menulis, sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah itu Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda.
Artinya: “Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan.”(HR.Muslim)
Dan mereka berkata kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum.” Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut. Rasulullah kemudian bersabda:
Artinya: “Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran “.
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali mempunyai sebuah sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan. Abu Hurairah menyatakan: “Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadis Rasulullah daripadaku, selain Abdullah bin Amr bin As. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya”. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh (dimansukh) dengan hadis yang memberi izin yang datang kemudian.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi. Mereka memahami hadis Rasulullah SAW. di atas bahwa larangan Nabi menulis hadis adalah ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis dengan AI-Quran
Sedangkan izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadis dengan Al-Quran. Oleh karena itu, setelah Al-Quran ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya, maka tidak ada Jarangan untuk menulis hadis. Tegasnya antara dua hadis Rasulullah di atas tidak ada pertentangan manakala kita memahami bahwa larangan itu hanya berlaku untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan mencampurkan AI-Quran dengan hadis, dan mereka yang mempunyai ingatan/kuat hapalannya. Dan izin menulis hadis diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat ingatan/hapalannya.
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali mempunyai sebuah sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan. Abu Hurairah menyatakan: “Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadis Rasulullah daripadaku, selain Abdullah bin Amr bin As. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya”. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh (dimansukh) dengan hadis yang memberi izin yang datang kemudian.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi. Mereka memahami hadis Rasulullah SAW. di atas bahwa larangan Nabi menulis hadis adalah ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis dengan AI-Quran
Sedangkan izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadis dengan Al-Quran. Oleh karena itu, setelah Al-Quran ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya, maka tidak ada Jarangan untuk menulis hadis. Tegasnya antara dua hadis Rasulullah di atas tidak ada pertentangan manakala kita memahami bahwa larangan itu hanya berlaku untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan mencampurkan AI-Quran dengan hadis, dan mereka yang mempunyai ingatan/kuat hapalannya. Dan izin menulis hadis diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat ingatan/hapalannya.
B. PENGHAPALAN HADITS
Para
sahabat dalam menerima hadis dari Nabi SAW. berpegang pada kekuatan
hapalannya, yakni menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan jalan
menulis hadis dalam buku. Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis
melalui mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi. Kemudian
terekamlah lafal dan makna itu dalam sanubari mereka. Mereka dapat
melihat langsung apa yang Nabi kerjakan, atau mendengar pula dari orang
yang mendengarnya sendiri dari nabi, karena tidak semua dari mereka pada
setiap waktu dapat mengikuti atau menghadiri majelis Nabi. Kemudian
para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan
berupaya mengingat apa yang pernah Nabi lakukan, untuk selanjutnya
disampaikan kepada orang lainsecarahapalanpula.
Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadis yang didengarnya dari Nabi SAW. Di antara sahabat yang paling banyak menghapal/meriwayatkan hadis ialah Abu Hurairah. Menurut keterangan Ibnu Jauzi bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadis. Kemudian para sahabat yang paling banyak hapalannyasesudahAbuHurairahialah:
Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadis yang didengarnya dari Nabi SAW. Di antara sahabat yang paling banyak menghapal/meriwayatkan hadis ialah Abu Hurairah. Menurut keterangan Ibnu Jauzi bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadis. Kemudian para sahabat yang paling banyak hapalannyasesudahAbuHurairahialah:
1. Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadis
2. Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadis
3. Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadis
4. Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadis
5. Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadis
6. Abu Said AI-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadis
C. PENGHIMPUNAN HADIS
Pada
abad pertama hijrah, yakni masa Rasulullah SAW., masa khulafaur
Rasyidin dan sebagian besar masa bani umayyah, hingga akhir abad pertama
hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke
mulut Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan
kekuatan hapalannya. Memang hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu
mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya.
Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya
dikemukakan oleh khalifah Umar bin Khattab (w. 23/H/644 M). Namun ide
tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena beliau khawatir bila umat
Islam terganggu perhatiannyadalammempelajariAl-Quran.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama hijrah, yakni tahun 99 hijrah datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadis. Umar bin Abdul Azis seorang khalifah dari Bani Umayyah terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima.
Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal.
Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang berbunyi:
Artinya: “Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itudirahasiakan.“
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perinea khalifah tersebut. Dan Az-Zuhri itulah yang merupakan salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis.
Dari Syihab Az-Zuhri ini (15-124 H) kemudian dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya, yang di samping pembukuan hadis sekaligus dilakukan usaha menyeleksi hadis-hadis yang maqbul dan mardud dengan menggunakan metode sanad dan isnad.
Metode sanad dan isnad ialah metode yang digunakan untuk menguji sumber-sumber pembawa berita hadis (perawi) dengan mengetahui keadaan para perawi, riwayat hidupnya, kapan dan di mana ia hidup, kawan semasa, bagaimana daya tangkap dan ingatannya dan sebagainya. Ilmu tersebut dibahas dalam ilmu yang dinamakan ilmu hadis Dirayah, yang kemudian terkenal dengan ilmu Mustalahul hadis.
Setelah generasi Az-Zuhri, kemudian pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H), Ar-Rabi’ bin Shabih (w. 160 H) dan masih banyak lagi ulama-ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempuma. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H. dilakukan upaya penyempunaan. Mulai. waktu itu kelihatan gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan penulisan hadis-hadis Rasul SAW. Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang sampai kepada kita, antara lain AI-Muwatha ‘ oleh imam Malik(w 179 H), AI Musnad oleh Imam Asy-Syafi’l (w 204 H). Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh Imam-lmam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Turmuzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan lain-lain
Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam yaitu: Sahih AI-Bukhari (w 256H), Sahih Muslim (w 261H), Abu Dawud (w 275H), At-Turmuzi (w 267H), Sunan An-Nasai (w 303H), dan Ibnu Majah (w 273H). Tidak sedikit pada “masa berikutnya dari para ulama yang menaruh perhatian besar kepada Kutubus sittah tersebut beserta kitab Muwatta dengan cara mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanaddanmatan-matannya.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama hijrah, yakni tahun 99 hijrah datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadis. Umar bin Abdul Azis seorang khalifah dari Bani Umayyah terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima.
Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal.
Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang berbunyi:
Artinya: “Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itudirahasiakan.“
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perinea khalifah tersebut. Dan Az-Zuhri itulah yang merupakan salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis.
Dari Syihab Az-Zuhri ini (15-124 H) kemudian dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya, yang di samping pembukuan hadis sekaligus dilakukan usaha menyeleksi hadis-hadis yang maqbul dan mardud dengan menggunakan metode sanad dan isnad.
Metode sanad dan isnad ialah metode yang digunakan untuk menguji sumber-sumber pembawa berita hadis (perawi) dengan mengetahui keadaan para perawi, riwayat hidupnya, kapan dan di mana ia hidup, kawan semasa, bagaimana daya tangkap dan ingatannya dan sebagainya. Ilmu tersebut dibahas dalam ilmu yang dinamakan ilmu hadis Dirayah, yang kemudian terkenal dengan ilmu Mustalahul hadis.
Setelah generasi Az-Zuhri, kemudian pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H), Ar-Rabi’ bin Shabih (w. 160 H) dan masih banyak lagi ulama-ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempuma. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H. dilakukan upaya penyempunaan. Mulai. waktu itu kelihatan gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan penulisan hadis-hadis Rasul SAW. Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang sampai kepada kita, antara lain AI-Muwatha ‘ oleh imam Malik(w 179 H), AI Musnad oleh Imam Asy-Syafi’l (w 204 H). Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh Imam-lmam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Turmuzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan lain-lain
Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam yaitu: Sahih AI-Bukhari (w 256H), Sahih Muslim (w 261H), Abu Dawud (w 275H), At-Turmuzi (w 267H), Sunan An-Nasai (w 303H), dan Ibnu Majah (w 273H). Tidak sedikit pada “masa berikutnya dari para ulama yang menaruh perhatian besar kepada Kutubus sittah tersebut beserta kitab Muwatta dengan cara mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanaddanmatan-matannya.
D. PEMALSUAN HADITS DAN UPAYA PENYELATAMANNYA
Sejak
terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib
serta Muawiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan khalifah, maka
umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu syiah. khawarij, dan
jumhur. Masing-masing kelompok mengaku berada dalam pihak yang benar dan
menuduh pihak lainnya salah. Untuk membela pendirian masing-masing,
maka mereka membuat hadis-hadis palsu. Mulai saat itulah timbulnya
riwayat-riwayat hadis palsu. Orang-orang yang mula-mula membuat hadis
palsu adalah dari golongan Syiah kemudian golongan khawarij dan jumhur,
Tempat mula berkembangnya hadis palsu adalah daerah Irak tempat kamu
syiah berpusatpadawaktuitu.
Pada abad kedua, pemalsuan hadis bertambah luas dengan munculnya propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Sebagai imbangan, muncul pula dari pihak Muawiyyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selain itu, muncul juga golongan Zindiq, tukang kisah yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan membuat kisah-kisah palsu.
Pada abad kedua, pemalsuan hadis bertambah luas dengan munculnya propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Sebagai imbangan, muncul pula dari pihak Muawiyyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selain itu, muncul juga golongan Zindiq, tukang kisah yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan membuat kisah-kisah palsu.
1 Menurut Imam Malik ada empat jenis orang yang hadisnya tidak boleh diambil darinya:
Ø Orang yang kurang akal.
Ø Orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti hawa nafsunya
Ø Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada Rasul
Ø Orang yang tampaknya saleh dan beribadah apabila orang itu tidak mengetahui nilai-nilai hadis yang diriwayatkannya
Untuk
itu, kemudian sebagian ulama mempelajari dan meneliti keadaan
perawi-perawi hadis yang dalam masa itu banyak terdapat perawi-perawi
hadis yang lemah Diantara perawi-perawi tersebut. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui mana yang benar-benar dapat diterima periwayatannya dan
mana yang tidak dapat diterima.
Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadis-hadis palsu oleh para ulama, yaitu dengan cara menunjukan nama-nama dari oknum-oknum/ golongan-golongan yang memalsukan hais berikut hadis-hadis yang dibuatnya supaya umat islam tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan mereka. Untuk itu, para ulama menyusun kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadis-hadis palsu tersebut, yaitu antara lain :
Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadis-hadis palsu oleh para ulama, yaitu dengan cara menunjukan nama-nama dari oknum-oknum/ golongan-golongan yang memalsukan hais berikut hadis-hadis yang dibuatnya supaya umat islam tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan mereka. Untuk itu, para ulama menyusun kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadis-hadis palsu tersebut, yaitu antara lain :
1 Kitab Tadzkiratul Maudlu’ah oleh Muhammad bin Thahir Ak-Maqdizi (w.tahun507) H)
2 Kitab oleh Al-Hasan bin Ibrahim Al-Hamdani
3 Kitab Maudlu’atul Kubra oleh Ibnul Jauzi (w. tahun 597 H)
Di
samping itu para ulama hadis membuat kaidah-kaidah atau patokan-patokan
serta menetapkan ciri-ciri kongkret yang dapat menunjukkan bahwa suatu
hadis itu palsu. Ciri-ciri yang menunjukkan bahwa hadis itu palsu antara
lain: Susunan hadis itu baik lafaz maupun maknanya janggal, sehingga
tidak pantas rasanya disabdakan oleh Nabi SAW., seperti hadis: Artinya:
“Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman karibku. “Isi
maksud hadis tersebut bertentangan dengan akal, seperti hadis: Artinya:
“Buah terong itu menyembuhkan. Segala macam penyakit. “
Isi/maksud itu bertentangan dengan nas Al-Quran dan atau hadis mutawatir sepertihadis:,
Artinya: “Anak zina itu tidak akan masuk surga. “
Hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT. : Artinya: “Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. ” (QS. Fatir: 18)
Isi/maksud itu bertentangan dengan nas Al-Quran dan atau hadis mutawatir sepertihadis:,
Artinya: “Anak zina itu tidak akan masuk surga. “
Hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT. : Artinya: “Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. ” (QS. Fatir: 18)
BIOGRAFI 7 PERAWI
Buta
di masa kecilnya, Keliling dunia mencari ilmu. Menghafal ratusan ribu
hadits. Karyanya menjadi rujukan utama setelah Al Qur’an. Nama
lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Al Mughirah bin
Bardizbah Al Bukhari Al Ju’fi. Akan tetapi beliau lebih terkenal dengan
sebutan Imam Bukhari, karena beliau lahir di kota Bukhara, Turkistan.
Beliau dilahirkan pada bulan syawal tahun 194 H di negeri bukhara, yang
sekarang di kenal sebagai bagian dari negeri soviet. Beliau adalah
seorang yang sangat alim di bidang hadits. Beliau menyusun sebuah kitab
yang kesahihannya telah disepakati oleh umat islam dari jaman dahulu
hingga sekarang. Imam bukhari pernah ditanya oleh seseorang:' Bagaimana
mulanya engkau berkecimpung dalam bidang hadits ini? Maka beliau
mengatakan : saya diilhami untuk menghafal hadits ketika saya bersama
dengan para penulis hadits. Berapa usiamu pada waktu itu? Dia menjawab
10 tahun, atau kurang. Saya lalu keluar dari kelompok para penulis itu
dan selanjutnya saya selau menemani ad dakhili dan ulama lainnya. Ketika
saya telah berkecimpung di bidang ini saya telah hafal ibnul mubarak
dan waqi'. Saya lalu pergi ke Mekkah bersama ibu dan saudaraku , sesudah
selesai berhaji , saudaraku lalu mengantarkan ibuku pulang, sedangkan
saya memperdalam dan mematangkan diri dalam bidang hadits. Imam bukahari
selanjutnya berkelana ke berbagai daerah seperit nisabur, baghdad,
bashrah, kufah, mekkah, madinah, syam dan mesir untuk mendapatkan hadits
dari sejumlah ulama. Beliau menulis kitabnya yang bernama tarikh di
masjid nabawi, sejumlah buku yang memuat nama-nama rijal (Orang).
Imam bukhari pada waktu kecil pernah mendatangi para ulama yang sedang bersama para muridnya, karena beliau masih kecil beliau malu memberi salam pada mereka. Suatu ketika beliau ditanya oleh seorang alim: berapa hadits yang sudah kau tulis hari ini? Imam bukhari menjawab: Dua" orang-orang yang ada di sekitarnya mentertawakannya. Alim itu pun berkata" kalian jangan mentertawakannya, boleh jadi suatu hari kalian akan ditertawakannya.
Imam bukhari pada waktu kecil pernah mendatangi para ulama yang sedang bersama para muridnya, karena beliau masih kecil beliau malu memberi salam pada mereka. Suatu ketika beliau ditanya oleh seorang alim: berapa hadits yang sudah kau tulis hari ini? Imam bukhari menjawab: Dua" orang-orang yang ada di sekitarnya mentertawakannya. Alim itu pun berkata" kalian jangan mentertawakannya, boleh jadi suatu hari kalian akan ditertawakannya.
Beliau
berkata: suatu kali saya bersama ishak ibnu rahawaih, lalu ada sejumlah
temanku yang berkata kepadaku " alangkah baiknya kalau sekiranya engkau
kumpulkan sunnah nabi sholallohu alaihi wasalam dalam sebuh kitab yang
singkat. Hal tersebut mengena dalam hatiku , maka saya mulai
mengumpulkannya dalam kitab ini (Kitab sahih Bukhari). Beliau berkata :
kitab ini saya pilihkan dari 600 ribu hadits. beliau juga berkata :
tidaklah aku tulis satu hadits dalam kitab ini kecuali saya wudlu/mandi
dan sholat dua rekaat. Imam bukari berkata: saya menulis hadits dari
1000 orang alim atau lebih. Tidak ada satu pun hadits yang ada padaku
kecuali kusebutkan isnadnya. Imam bukhari meninggal pada tahun 256 H
pada malam hari raya idhul fitri pada usia 62 tahun. Kubur beliau
terletak di bikharnatk dekat dengan samarkand.
IMAM AHMAD BIN HAMBAL
Setiap
kali membaca biografi Ahmad bin Hambal, kita akan bertemu dengan sosok
yang gigih dalam membela sifat-sifat Allah yang haq, meskipun beliau
disiksa bertahun -tahun lamanya. Tidak gentar, tidak berpaling, dan
tidak mengerahkan murid-muridnya untuk melawan penguasa, tetapi malah
selalu mendoakan pemimpin (meski mereka amat sangat zalim sekali),
sebagaimana beliau pernah berkata, "Sekiranya saya memiliki doa yang
pasti terkabul, tentu doa itu kutujukan untuk pemimpin". Nasab dan
Kelahirannya Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal.
Nasab beliau bertemu dengan nasab RasuluLlah sholaLlahu a'laihi wasallam
pada diri Nizar bin Ma'd bin 'Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula
dengan nabi Ibrahim 'alaihissalam.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa-tempat tinggal sang ayah-, ke kota Baghdad. Di kota itulah beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi'ul Awwal 164H. Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur 3 tahun.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa-tempat tinggal sang ayah-, ke kota Baghdad. Di kota itulah beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi'ul Awwal 164H. Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur 3 tahun.
Masa Menuntut Ilmu
Imam
Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti
Maimunah, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau.
Untungnya, sang ayah meninggalkan dua rumah untuk mereka: satu ditempati
sendiri, dan satunya disewakan dengan harga sangat murah. Dalam hal
ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi'i, yang
yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya
juga Beliau mendapatkan pendidikan pertamanya di Baghdad.Setamatnya
menghafal AlQuran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttan
saat berusia 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan.
Perhatian beliau saat itu tengah tertuju pada keinginan mengambil hadits
dari para perawinya. Orang pertama tempat mengambil hadits adalah
Al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah. Pada usia 16 tahun,
Imam Ahmad mulai tertarik untuk menulis hadits. Beliau melakukan
mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim Al-Wasithy
hingga syaikhnya wafat, dan telah belajar lebih dari 300.000 hadits.
memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Pada umur 23 tahun, beliau mulai mencari hadits ke Bashrah, Hijaz, Yaman, dan kota lain. Selama di Hijaz, beliau banyak mengambil hadits dan faidah dari Imam Syafi'i, bahkan Imam Syafi'i sendiri amat memuliakan Imam Ahmad dan menjadikan beliau sebagai rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Demikianlah ketekunan beliau, sampai-sampai beliau baru menikah di usia 40 tahun. Seseorang pernah berkata kepada beliau, "Wahai Abu Abdillah, Anda telah menjadi imam kaum muslimin". Beliau menjawab, "Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah(kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur". Beliau senantiasa seperti itu: menekuni hadits, memberi fatwa, dsb. Banyak ulama yang pernah belajar kepada beliau, semisal kedua putranya, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zur'ah, dan lain- lain.
Kitab-kitab beliau Kitabnya yang terkenal, al-Musnad, beliau susun dalam waktu 60 tahun sejak beliau pertama kali tertarik menulis hadits. Beliau juga menyusun kitab Al-Manasik ash- Shaghir dan Al-Kabir, kitab Az-Zuhud, Ar-Radd 'ala Jahmiyyah wa az-Zindiqiyyah, kitab
as-Sholah, as-Sunnah, al-Wara' wa al-Iman, al-'Ilal wa ar-Rijal,Fadhail ash- Shahabah, danlain-lain.
memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Pada umur 23 tahun, beliau mulai mencari hadits ke Bashrah, Hijaz, Yaman, dan kota lain. Selama di Hijaz, beliau banyak mengambil hadits dan faidah dari Imam Syafi'i, bahkan Imam Syafi'i sendiri amat memuliakan Imam Ahmad dan menjadikan beliau sebagai rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Demikianlah ketekunan beliau, sampai-sampai beliau baru menikah di usia 40 tahun. Seseorang pernah berkata kepada beliau, "Wahai Abu Abdillah, Anda telah menjadi imam kaum muslimin". Beliau menjawab, "Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah(kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur". Beliau senantiasa seperti itu: menekuni hadits, memberi fatwa, dsb. Banyak ulama yang pernah belajar kepada beliau, semisal kedua putranya, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zur'ah, dan lain- lain.
Kitab-kitab beliau Kitabnya yang terkenal, al-Musnad, beliau susun dalam waktu 60 tahun sejak beliau pertama kali tertarik menulis hadits. Beliau juga menyusun kitab Al-Manasik ash- Shaghir dan Al-Kabir, kitab Az-Zuhud, Ar-Radd 'ala Jahmiyyah wa az-Zindiqiyyah, kitab
as-Sholah, as-Sunnah, al-Wara' wa al-Iman, al-'Ilal wa ar-Rijal,Fadhail ash- Shahabah, danlain-lain.
IMAM TIRMIDZI
Khazanah
keilmuan Islam klasik mencatat sosok Imam Tirmizi sebagai salah satu
periwayat dan ahli Hadits utama, selain Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam
Abu Daud, dan sederet nama lainnya. Karyanya, Kitab Al Jami’, atau biasa
dikenal dengan kitab Jami’ Tirmizi, menjadi salah satu rujukan penting
berkaitan masalah Hadits dan ilmunya, serta termasuk dalam Kutubus
Sittah (enam kitab pokok di bidang Hadits) dan ensiklopedia Hadits
terkenal. Sosok penuh tawadhu’ dan ahli ibadah ini tak lain adalah Imam
Tirmizi. Dilahirkan pada 279 H di kota Tirmiz, Imam Tirmizi bernama
lengkap Imam Al-Hafiz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin
Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmizi. Sejak kecil, Imam Tirmizi gemar belajar
ilmu dan mencari Hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke
berbagai negeri, antara lain Hijaz, Irak, Khurasan, dan lain-lain. Dalam
lawatannya itu, ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru
Hadits untuk mendengar Hadits dan kemudian dihafal dan dicatatnya dengan
baik. Di antara gurunya adalah; Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu
Daud. Selain itu, ia juga belajar pada Imam Ishak bin Musa, Mahmud bin
Gailan, Said bin Abdurrahman, Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, dan
lainnya. Perjalanan panjang pengembaraannya mencari ilmu, bertukar
pikiran, dan mengumpulkan Hadits itu mengantarkan dirinya sebagai ulama
Hadits yang sangat disegani kalangan ulama semasanya. Kendati demikian,
takdir menggariskan lain. Daya upaya mulianya itu pula yang pada akhir
kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia
hidup sebagai tuna netra. Dalam kondisi seperti inilah, Imam Tirmizi
meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada usia 70 tahun. Di kemudian
hari, kumpulan Hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh
banyak ulama, di antaranya; Makhul ibnul-Fadl, Muhammad bin Mahmud
Anbar, Hammad bin Syakir, Abd bin Muhammad An-Nasfiyyun, Al-Haisam bin
Kulaib Asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf An-Nasafi, Abul-Abbas Muhammad bin
Mahbud Al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan
lain-lain. Mereka ini pula murid-murid Imam Tirmizi Banyak kalangan
ulama dan ahli Hadits mengakui kekuatan dan kelebihan dalam diri Imam
Tirmizi. Selain itu, kesalehan dan ketakwaannya pun tak dapat diragukan
lagi. Salah satu ulama itu, Ibnu Hibban Al-Busti, pakar Hadits, mengakui
kemampuan Tirmizi dalam menghafal, menghimpun, menyusun, dan meneliti
Hadits, sehingga menjadikan dirinya sumber pengambilan Hadits para ulama
terkenal, termasuk Imam Bukhari. Sementara kalangan ulama lainnya
mengungkapkan, Imam Tirmizi adalah sosok yang dapat dipercaya, amanah,
dan sangat teliti. Kisah yang dikemukakan Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam
Tahzib At-Tahzibnya, dari Ahmad bin Abdullah bin Abu Dawud, berikut
adalah salah satu bukti kelebihan sang Imam: Saya mendengar Abu Isa
At-Tirmizi berkata, “Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Mekkah,
dan ketika itu saya telah menulis dua jilid buku berisi Hadits-hadits
berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu
saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang
yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Dia mengira bahwa ‘dua
jilid kitab’ itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid
tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya
bertemu dengannya, saya memohon kepadanya untuk mendengar Hadits, dan ia
mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan Hadits yang telah
dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat
bahwa kertas yang kupegang ternyata masih putih bersih tanpa ada tulisan
sesuatu apa pun. Selain dikenal sebagai ahli dan penghafal Hadits,
mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, Imam Tirmizi juga
dikenal sebagai ahli fiqh dengan wawasan dan pandangan luas.
Pandangan-pandangan tentang fiqh itu misalnya, dapat ditemukan dalam
kitabnyaAl-Jami’.
Kajian-kajiannya
mengenai persoalan fiqh ini pula mencerminkan dirinya sebagai ulama
yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang
sebenarnya. Sebagai tamsil, penjelasannya terhadap sebuah Hadits
mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang
sudah mampu, sebagai berikut: “Muhammad bin Basysyar bin Mahdi
menceritakan kepada kami. Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi
Az-Zunad, dari Al-Arai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda:
Penangguhan membayar utang (yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu
adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan
utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan
utang itu diterimanya.”
IBNU MAJAH
Beliau
bernama Imam Al Hafidz Al Faqih Sulaiman bin Imron bin Al Asy`ats bin
Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amr bin Imron -atau disebut dengan Amir-
Al Azdy As Sajistaany, dan dilahirkan pada tahun 202 H/817M di kota
Sajistaan, menurut kesepakatan referensi yang memuat biografi
beliau,demikian juga didasarkan keterangan murid beliau yang bernama Abu
Ubaid Al Ajury ketika beliau wafat,ketika berkata: aku telah mendengar
dari Abi Daud ,beliau berkata : Aku dilahirkan pada tahun 202 H / 817 M
(Siyar A`lam An Nubala` 13/204)
Perkembangan keilmuannya
Tidak
didapatkan berita atau keterangan tentang masa kecil beliau kecuali
keterangan bahwa keluarganya memiliki perhatian yang sangat besar dalam
hadits-hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasalam, dan ini sangat
mempengaruhi perkembangan keilmuan beliau di masa depannya.Keluarga
beliau adalah keluarga yang terdidik dalam kecintaan terhadap
hadits-hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasalam dan ilmu-ilmunya.
Bapak beliau yaitu Al Asy`ats bin Ishaq adalah seorang perawi hadits
yang meriwayatkan hadits dari Hamad bin Zaid, dan demikian juga
saudaranya Muhammad bin Al Asy`ats termasuk seorang yang menekuni dan
menuntut hadits dan ilmu-ilmunya juga merupakan teman perjalanan beliau
dalam menuntut hadits dari para ulama ahlil hadits. Maka berkembanglah
Abu Daud dengan motivasi dan semangat yang tinggi serta kecintaan beliau
sejak kecil terhadap ilmu-ilmu hadits, sehingga beliau mengadakan
perjalanan (Rihlah)dalam mencari ilmu sebelum genap berusia 18
tahun.Beliau memulai perjalanannya ke Baghdad (Iraq) pada tahun 220
H/835M dan menemui kematian Imam Affan bin Muslim, sebagaimana yang
beliau katakan : “Aku menyaksikan jenazahnya dan mensholatkannya”
(Tarikh Al Baghdady 9/56). Walaupun sebelumnya beliau telah pergi ke
negeri-negeri tetangga Sajistaan, seperti khurasan, Baghlan, Harron, Roi
dan Naisabur.
RiwayatPerjalanan
1 Tahun 221H/836M beliau datang ke Kufah dan mengambil hadits dari Al Hafidz Al Hasan
bin Robi` Al Bajaly dan Al Hafidz Ahmad bin Abdillah bin Yunus Al
Yarbu`iy (mereka berdua termasuk dalam guru-gurunya Imam Muslim)
2 Sebelumnya beliau berkelana ke makkah dan meriwayatkan hadits dari Abdulloh bin Maslamah Al Qo`naby (Wafat tahun 221 H/836M).
3 Di Damaskus mengambil hadits dari Ishaq bin Ibrohim Al Faradisy dan Hisyam bin Ammar
4 Tahun 224 H/839M pergi ke Himshi dan mengambil hadits dari Imam Hayawah bin Syuraih Al Himshy.
5 Mengambil hadits dari Ibnu Ja`far An Nafiry di Harron
6 Di Halab mengambil hadits dari Abu Taubah Robi` bin Nafi` Al Halab
7 Di
Mesir mengambil hadits dari Ahmad bin Sholeh Ath Thobary, kemudian
beliau tidak berhenti mencari ilmu di negeri-negeri tersebut bahkan
sering sekali bepergian ke Baghdad untuk menemui Imam Ahmad bin Hambal
disana dan menerima serta menimba ilmu darinya.Walaupun demikian
beliaupun mendengar dan menerima ilmu dari ulama-ulama Bashroh, seperti:
Abu Salamah At Tabudzaky, Abul Walid Ath Thoyalisy dan yang
lain-lainnya. Karena itulah beliau menjadi seorang imam ahlil hadits
yang terkenal banyak berkelana dalam mencari ilmu.
Guru-Guru Beliau.
Guru-guru
beliau sangat banyak,karena beliau menuntut ilmu sejak kecil dan sering
bepergian kepenjuru negeri-negeri dalam menuntut ilmu, sampai-sampai
Abu Ali Al Ghosaany mengarang sebuah buku yang menyebut nama-nama guru
beliau dan sampai mencapai 300 orang,demikian juga Imam Al Mizy menyebut
dalam kitabnya Tahdzibul Kamal 177 guru beliau. Dan diantara mereka
yang cukup terkenal adalah : Imam Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Ibrohim
bin Rahuyah, Ali bin Al Madiny, Yahya bin Ma`in, Abu Bakr ibnu Abi
Syaibah, Muhammad bin Yahya Adz Dzuhly, Abu Taubah Robi` bin Nafi` Al
Halaby, Abdulloh bin Maslamah Al Qo`naby, Abu Khoitsamah Zuhair bin
Harb, Ahmad bin Sholeh Al Mishry, Hayuwah bin syuraih, Abu Mu`awiyah
Muhammad bin Hazim Adh Dhorir, Abu Robi` Sulaiman bin Daud Az Zahrony,
Qutaibah bin Sa`di bin Jamil Al Baghlany. (LihatTahdzibul Kamal
11/358-359).Murid-Murid Beliau.Demikian pula murid-murid beliau cukup
banyak dan saya cukupkan dengan menyebut sebagian dari mereka disini,
yaitu : Abu `Isa At Tirmidzy, An Nasa`i, Abu Ubaid Al Ajury, Abu Thoyib
Ahmad bin Ibrohim Al Baghdady (Perawi sunan Abi Daud dari beliau), Abu
`Amr Ahmad bin Ali Al Bashry (perawi kitab sunan dari beliau), Abu Bakr
Ahmad bin Muhammad Al Khollal Al Faqih, Isma`il bin Muhammad Ash Shofar,
Abu Bakr bin Abi Daud (anak beliau), Zakariya bin Yahya As Saajy, Abu
Bakr Ibnu Abi Dunya, Ahmad bin Sulaiman An Najjar (perawi kitab Nasikh
wal Mansukh dari beliau), Ali bin Hasan bin Al `Abd Al Anshory (perawi
sunsn dari beliau), Muhammad bin Bakr bin Daasah At Tammaar (perawi
sunan dari beliau), Abu `Ali Muhammad bin Ahmad Al Lu`lu`y (perawi sunan
dari beliau), Muhammad bin Ahmad bin Ya`qub Al Matutsy Al Bashry
(perawi kitab Al Qadar dari beliau). (lihat Siyar A`lam An Nubala`
13/206 dan Tahdzibul Kamal 11/360).
Aqidah Beliau.Beliau adalah imam dari imam-imam ahlisunnah wal jamaah yang hidup di Bashroh kota berkembangnya kelompok Qadariyah, demikian juga berkembang disana pemikiran Khowarij, Mu`tazilah, Murji`ah dan Syi`ah Rafidhoh serta Jahmiyah dan lain-lainnya, tetapi walaupun demikian beliau tetap dalam keistiqomahan diatas Sunnah dan beliaupun membantah Qadariyah dengan kitabnya Al Qadar, demikian pula bantahan beliau atas Khowarij dalam kitabnya Akhbar Al Khawarij, dan juga membantah terhadap pemahaman yang menyimpang dari kemurnian ajaran islam yang telah disampaikan olah Rasulullah shalallahu alaihi wasalam. Maka tentang hal itu bisa dilihat pada kitabnya As Sunan yang terdapat padanya bantahan-bantahan beliau terhadap Jahmiyah, Murji`ah dan Mu`tazilah. Wafatnya Beliau.Beliau wafat dikota Bashroh tanggal 16 Syawal 275 H (20 Februari 889) dan disholatkan janazahnya oleh Abbas bin Abdul Wahid Al Haasyimy.
Perkembangan Islam, sedari awal hingga hari ini, tak lepas dari peranan Hadis. Dalam pemahaman umum, Hadis adalah ajaran Nabi Muhammad SAW, yang meliputi tindakan, perkataan, maupun persetujuannya atas sesuatu. Keseluruhan tindakan dan ucapan Nabi SAW itu kemudian dijadikan panutan dan patokan bagi para pengikut Muhammad SAW dalam menjalankan perintah-perintah agama.
Semasa Nabi SAW hidup, ajaran-ajaran tersebut belum dibukukan. Hanya ada beberapa pencatat atau semacam sekretaris yang biasa mencatat pesan-pesan Nabi SAW, salah satunya adalah Sahabat Zaid bin Tsabit. Namun setelah wafatnya Muhammad SAW, para ulama bersepakat untuk menulis kembali apa-apa yang pernah disampaikan dan dipraktikkan Nabi SAW dalam bentuk kitab. Terbitlah kemudian kitab-kitab Hadis yang merekam tentang segala sesuatu yang terkait dengan Nabi SAW.
Dari sekian puluh ulama yang dikenal sebagai ahli Hadis dan banyak meriwayatkan sabda-sabda Nabi SAW adalah Imam Ibnu Majah. Bernama lengkap Imam Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qarwini. Ia lebih akrab dipanggil Ibnu Majah. Ulama yang dikenal kejujuran dan akhlak mulianya ini dilahirkan di Qazwin, Irak pada 209 H/824 M. Sebutan Majah dinisbahkan kepada ayahnya, Yazid, yang juga dikenal dengan nama Majah Maula Rab’at. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Majah adalah ayah dari Yazid. Namun demikian, pendapat pertama tampaknya yang lebih valid. Ibnu Majah mulai belajar sejak usia remaja. Namun baru mulai menekuni bidang ilmu Hadis pada usia 15 tahun pada seorang guru ternama kala itu, yaitu Ali bin Muhammad At-Tanafasi (w. 233 H). Bakat dan minatnya di bidang Hadis makin besar. Hal inilah yang membuat Ibnu Majah berkelana ke beberapa daerah dan negara guna mencari, mengumpulkan, dan menulis Hadis. Puluhan negeri telah ia kunjungi, antara lain Rayy (Teheran), Basra, Kufah, Baghdad, Khurasan, Suriah, dan Mesir.
Aqidah Beliau.Beliau adalah imam dari imam-imam ahlisunnah wal jamaah yang hidup di Bashroh kota berkembangnya kelompok Qadariyah, demikian juga berkembang disana pemikiran Khowarij, Mu`tazilah, Murji`ah dan Syi`ah Rafidhoh serta Jahmiyah dan lain-lainnya, tetapi walaupun demikian beliau tetap dalam keistiqomahan diatas Sunnah dan beliaupun membantah Qadariyah dengan kitabnya Al Qadar, demikian pula bantahan beliau atas Khowarij dalam kitabnya Akhbar Al Khawarij, dan juga membantah terhadap pemahaman yang menyimpang dari kemurnian ajaran islam yang telah disampaikan olah Rasulullah shalallahu alaihi wasalam. Maka tentang hal itu bisa dilihat pada kitabnya As Sunan yang terdapat padanya bantahan-bantahan beliau terhadap Jahmiyah, Murji`ah dan Mu`tazilah. Wafatnya Beliau.Beliau wafat dikota Bashroh tanggal 16 Syawal 275 H (20 Februari 889) dan disholatkan janazahnya oleh Abbas bin Abdul Wahid Al Haasyimy.
Perkembangan Islam, sedari awal hingga hari ini, tak lepas dari peranan Hadis. Dalam pemahaman umum, Hadis adalah ajaran Nabi Muhammad SAW, yang meliputi tindakan, perkataan, maupun persetujuannya atas sesuatu. Keseluruhan tindakan dan ucapan Nabi SAW itu kemudian dijadikan panutan dan patokan bagi para pengikut Muhammad SAW dalam menjalankan perintah-perintah agama.
Semasa Nabi SAW hidup, ajaran-ajaran tersebut belum dibukukan. Hanya ada beberapa pencatat atau semacam sekretaris yang biasa mencatat pesan-pesan Nabi SAW, salah satunya adalah Sahabat Zaid bin Tsabit. Namun setelah wafatnya Muhammad SAW, para ulama bersepakat untuk menulis kembali apa-apa yang pernah disampaikan dan dipraktikkan Nabi SAW dalam bentuk kitab. Terbitlah kemudian kitab-kitab Hadis yang merekam tentang segala sesuatu yang terkait dengan Nabi SAW.
Dari sekian puluh ulama yang dikenal sebagai ahli Hadis dan banyak meriwayatkan sabda-sabda Nabi SAW adalah Imam Ibnu Majah. Bernama lengkap Imam Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qarwini. Ia lebih akrab dipanggil Ibnu Majah. Ulama yang dikenal kejujuran dan akhlak mulianya ini dilahirkan di Qazwin, Irak pada 209 H/824 M. Sebutan Majah dinisbahkan kepada ayahnya, Yazid, yang juga dikenal dengan nama Majah Maula Rab’at. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Majah adalah ayah dari Yazid. Namun demikian, pendapat pertama tampaknya yang lebih valid. Ibnu Majah mulai belajar sejak usia remaja. Namun baru mulai menekuni bidang ilmu Hadis pada usia 15 tahun pada seorang guru ternama kala itu, yaitu Ali bin Muhammad At-Tanafasi (w. 233 H). Bakat dan minatnya di bidang Hadis makin besar. Hal inilah yang membuat Ibnu Majah berkelana ke beberapa daerah dan negara guna mencari, mengumpulkan, dan menulis Hadis. Puluhan negeri telah ia kunjungi, antara lain Rayy (Teheran), Basra, Kufah, Baghdad, Khurasan, Suriah, dan Mesir.
Dengan
cara inilah, Ibnu Majah dapat menghimpun dan menulis puluhan bahkan
ratusan Hadis dari sumber-sumber yang dipercaya kesahihannya. Tak hanya
itu, dalam berbagai kunjungannya itu, ia juga berguru pada banyak ulama
setempat. Seperti, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin
Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam, dan para
pengikut perawi dan ahli Hadis, Imam Malik serta Al-Lays. Dari
pengembaraannya ini, tak sedikit ulama yang akhirnya meriwayatkan Hadis
dari Ibnu Majah. Antara lain Ishaq bin Muhammad, Ali bin Ibrahim bin
Salamah Al-Qattan, Ahmad bin Ibrahim, dan sebagainya.
Sepanjang hayatnya, Imam Ibnu Majah telah menulis puluhan buku, baik dalam bidang Hadis, sejarah, fikih, maupun tafsir. Di bidang tafsir, ai antara lain menulis Tafsir Alquranul Karim. Sementara itu, di bidang sejarah, Ibnu Majah menulis buku At-Tariikh, karya sejarah yang memuat biografi para perawi Hadis sejak awal hingga ke masanya. Lantaran tak begitu monumental, kemungkinan besar kedua karya tersebut tak sampai di tangan generasi Islam berikutnya.
Yang menjadi monumental dan populer di kalangan Muslim dan literatur klasik dari karya Ibnu Majah adalah kitab di bidang Hadis berjudul Kitab Sunan Ibnu Majah. Kitab ini merupakan karya terbesar dia. Di bidang ini pula, Ibnu Majah telah meriwayatkan sedikitnya 4000 buah Hadis. Bahkan, seperti diungkapkan Muhammad Fuad Abdul Baqi, penulis buku Mu’jam Al-Mufahras li Alfaz Alquran (Indeks Alquran), jumlah Hadis dalam kitab Sunan Ibnu Majah berjumlah 4.241 buah Hadis. Sebanyak 3002 di antaranya termaktub dalam lima kitab kumpulan Hadis yang lain. Tak hanya hukum Islam, dalam kitab Sunan Ibnu Majah tersebut juga membahas masalah-masalah akidah dan muamalat. Dari sekian banyak Hadis yang diriwayatkan, beberapa kalangan ulama mengkategorikan sebagiannya sebagai Hadis lemah.
Atas ketekunan dan kontribusinya di bidang ilmu-ilmu Islam itu, khususnya disiplin ilmu Hadis, banyak ulama yang kagum dan menilainya sebagai salah seorang ulama besar Islam. Seorang ulama bernama Abu Ya’la al-Khalili al-Qazwini misalnya, berkata: “Ibnu Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal Hadis.” Ulama lainnya, Zahabi dalam Tazkiratul Huffaz, melukiskannya sebagai seorang ahli Hadis besar dan mufassir (ahli tafsir), pengarang kitab sunan dan tafsir, serta ahli Hadis kenamaan negerinya. Sementara mufassir dan kritikus Hadis besar kenamaan, Ibnu Kasir, dalam karyanya, Al-Bidayah, berkata: “Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah) adalah pengarang kitab sunan yang masyhur. Kitabnya itu merupakan bukti atas amal dan ilmunya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya kepada Hadis dan usul serta furu’.”
Setelah sekian lama mendedikasikan hidup dan pikirnya kepada Islam, Sang Khaliq akhirnya memanggil Imam Ibnu Majah selama-lamanya pada tanggal 22 Ramadhan 273 H/887 M. Ia dimakamkan di tanah kelahirannya, Qazwin, Irak. Umat Islam terus mengenangnya melalui berbagai karyanya, terutama Kitab Sunan Ibnu Majah yang termasuk dalam Kutubus Sittah (Enam Kitab Utama Hadis).
Sepanjang hayatnya, Imam Ibnu Majah telah menulis puluhan buku, baik dalam bidang Hadis, sejarah, fikih, maupun tafsir. Di bidang tafsir, ai antara lain menulis Tafsir Alquranul Karim. Sementara itu, di bidang sejarah, Ibnu Majah menulis buku At-Tariikh, karya sejarah yang memuat biografi para perawi Hadis sejak awal hingga ke masanya. Lantaran tak begitu monumental, kemungkinan besar kedua karya tersebut tak sampai di tangan generasi Islam berikutnya.
Yang menjadi monumental dan populer di kalangan Muslim dan literatur klasik dari karya Ibnu Majah adalah kitab di bidang Hadis berjudul Kitab Sunan Ibnu Majah. Kitab ini merupakan karya terbesar dia. Di bidang ini pula, Ibnu Majah telah meriwayatkan sedikitnya 4000 buah Hadis. Bahkan, seperti diungkapkan Muhammad Fuad Abdul Baqi, penulis buku Mu’jam Al-Mufahras li Alfaz Alquran (Indeks Alquran), jumlah Hadis dalam kitab Sunan Ibnu Majah berjumlah 4.241 buah Hadis. Sebanyak 3002 di antaranya termaktub dalam lima kitab kumpulan Hadis yang lain. Tak hanya hukum Islam, dalam kitab Sunan Ibnu Majah tersebut juga membahas masalah-masalah akidah dan muamalat. Dari sekian banyak Hadis yang diriwayatkan, beberapa kalangan ulama mengkategorikan sebagiannya sebagai Hadis lemah.
Atas ketekunan dan kontribusinya di bidang ilmu-ilmu Islam itu, khususnya disiplin ilmu Hadis, banyak ulama yang kagum dan menilainya sebagai salah seorang ulama besar Islam. Seorang ulama bernama Abu Ya’la al-Khalili al-Qazwini misalnya, berkata: “Ibnu Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal Hadis.” Ulama lainnya, Zahabi dalam Tazkiratul Huffaz, melukiskannya sebagai seorang ahli Hadis besar dan mufassir (ahli tafsir), pengarang kitab sunan dan tafsir, serta ahli Hadis kenamaan negerinya. Sementara mufassir dan kritikus Hadis besar kenamaan, Ibnu Kasir, dalam karyanya, Al-Bidayah, berkata: “Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah) adalah pengarang kitab sunan yang masyhur. Kitabnya itu merupakan bukti atas amal dan ilmunya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya kepada Hadis dan usul serta furu’.”
Setelah sekian lama mendedikasikan hidup dan pikirnya kepada Islam, Sang Khaliq akhirnya memanggil Imam Ibnu Majah selama-lamanya pada tanggal 22 Ramadhan 273 H/887 M. Ia dimakamkan di tanah kelahirannya, Qazwin, Irak. Umat Islam terus mengenangnya melalui berbagai karyanya, terutama Kitab Sunan Ibnu Majah yang termasuk dalam Kutubus Sittah (Enam Kitab Utama Hadis).
IMAM MUSLIM
Nama
lengkap beliau ialah Imam Abdul Husain bin al-Hajjaj bin Muslim bin
Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Dia dilahirkan di Naisabur tahun 206
H. Sebagaimana dikatakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya
"Ulama'ul Amsar. Imam Muslim adalah penulis kitab syahih dan kitab ilmu
hadits. Dia adalah ulama terkemuka yang namanyatetapdikenalsampaikini.
Kehidupan dan Pengembaraannya
Kehidupan dan Pengembaraannya
Kehidupan
Imam Muslim penuh dengan kegiatan mulia. Beliau meran-tau ke berbagai
negeri untuk mencari hadits. Dia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan
negara-negara lainnya. Dia belajar hadits sejak masih kecil, yakni mulai
tahun 218 H. Dalam perjalanannya, Muslim bertemu dan berguru pada ulama
hadis.
Di Khurasan, dia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih. Di Ray, dia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu Ansan. Di Irak, dia belajar kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah. Di Hijaz, berguru kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas'ab. Di Mesir, belajar kepada 'Amar bin Sawad dan Harmalah bin Yahya dan berguru kepada ulama hadits lainnya.
Imam Muslim berulangkali pergi ke Bagdad untuk belajar hadits, dan kunjungannya yang terakhir tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Muslim sering berguru kepadanya. Sebab dia mengetahui kelebihan ilmu Imam Bukhari. Ketika terjadi ketegangan antara Bukhari dengan az--Zuhali, dia memihak Bukhari. Sehingga hubungannya dengan az-Zuhali menjadi putus. Dalam kitab syahihnya maupun kitab lainnya, Muslim tidak memasukkan hadits yang diterima dari az-Zuhali, meskipun dia adalah guru Muslim. Dan dia pun tidak memasukkan hadits yang diterima dari Bukhari, padahal dia juga sebagai gurunya. Bagi Muslim, lebih baik tidak memasukkan hadits yang diterimanya dari dua gurunya itu. Tetapi dia tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Di Khurasan, dia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih. Di Ray, dia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu Ansan. Di Irak, dia belajar kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah. Di Hijaz, berguru kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas'ab. Di Mesir, belajar kepada 'Amar bin Sawad dan Harmalah bin Yahya dan berguru kepada ulama hadits lainnya.
Imam Muslim berulangkali pergi ke Bagdad untuk belajar hadits, dan kunjungannya yang terakhir tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Muslim sering berguru kepadanya. Sebab dia mengetahui kelebihan ilmu Imam Bukhari. Ketika terjadi ketegangan antara Bukhari dengan az--Zuhali, dia memihak Bukhari. Sehingga hubungannya dengan az-Zuhali menjadi putus. Dalam kitab syahihnya maupun kitab lainnya, Muslim tidak memasukkan hadits yang diterima dari az-Zuhali, meskipun dia adalah guru Muslim. Dan dia pun tidak memasukkan hadits yang diterima dari Bukhari, padahal dia juga sebagai gurunya. Bagi Muslim, lebih baik tidak memasukkan hadits yang diterimanya dari dua gurunya itu. Tetapi dia tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Wafatnya
Setelah
mengarungi kehidupan yang penuh berkah, Muslim wafat pada hari Ahad
sore, dan di makamkan di kampong Nasr Abad daerah Naisabur pada hari
Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun. Selama hidupnya, Muslim
menulis beberapa kitab yang sangat bermanfaat. Gurunya Imam
Muslim mempunyai guru hadits sangat banyak sekali, diantaranya adalah:
Usman bin Abi Syaibah, Abu Bakar bin Syaibah, Syaiban bin Farukh, Abu
Kamil al-Juri, Zuhair bin Harab, 'Amar an-Naqid, Muhammad bin Musanna,
Muhammad bin Yasar, Harun bin Sa'id al-Aili, Qutaibah bin sa'id dan lain
sebagainya.
Murid yang meriwayatkan Haditsnya
Banyak
para ulama yang meriwayatkan hadits dari Imam Muslim, bahkan di
antaranya terdapat ulama besar yang sebaya dengan dia. Di antaranya, Abu
Hatim ar-Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah, Abu Bakar bin
Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Awanah al-Isfarayini, Abi isa
at-Tirmidzi, Abu Amar Ahmad bin al-Mubarak al-Mustamli, Abul Abbas
Muhammad bin Ishaq bin as-Sarraj, Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan
al-Faqih az-Zahid. Nama terakhir ini adalah perawi utama bagi Syahih
Muslim. Dan masih banyak lagi muridnya yang lain. Apabila Imam Bukhari
sebagai ahli hadits nomor satu, ahli tentang ilat--ilat (cacat) hadits
dan seluk beluk hadits, dan daya kritiknya sangat tajam, maka Muslim
adalah orang kedua setelah Bukhari, baik dalam ilmu, keistimewaan dan
kedudukannya. Hal ini tidak mengherankan, karena Muslim adalah salah
satu dari muridnya. Al-Khatib al-Bagdadi berkata: "Muslim telah
mengikuti jejak Bukhari, mengembangkan ilmunya dan mengikuti jalannya."
Pernyataan ini bukanlah menunjukkan bahwa Muslim hanya seorang pengikut
saja. Sebab ia mempunyai ciri khas tersendiri dalam menyusun kitab,
serta memperkenalkan metode baru yang belum ada sebelumnya. Imam Muslim
mendapat pujian dari ulama hadis dan ulama lainnya. Al--Khatib
al-Bagdadi meriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, katanya "Saya me-lihat
Abu Zur'ah dan Abu Hatim selalu mengutamakan Muslim bin al-Hajjaj dari
pada guru- guru hadits lainnya. Ishak bin Mansur al-Kausaj berkata
kepada Muslim: "Kami tidak akan kehilangan kebaikan selama Allah
menetapkan engkau bagi kaum muslimin." Ishak bin Rahawaih pernah
mengatakan: "Adakah orang lain seperti Muslim?". Ibnu Abi Hatim
mengatakan: "Muslim adalah penghafal hadits. Saya menulis hadits dari
dia di Ray." Abu Quraisy berkata: "Di dunia ini, orang yang benar- benar
ahli hadits hanya empat orang. Di antaranya adalah Muslim." Mak-sudnya,
ahli hadits terkemuka di masa Abu Quraisy.
Sebabahlihaditsitucukupbanyakjumlahnya.
Kitab-kitab Imam Muslim
Kitab-kitab Imam Muslim
Imam muslim mempunyai kitab hasil tulisannya yang jumlahnya cukup banyak. Di antaranya:
- Al-Jamius Syahih
- Al-Musnadul Kabir Alar Rijal
- Kitab al-Asma' wal Kuna
- Kitab al-Ilal
- Kitab al-Aqran
- Kitab Sualatihi Ahmad bin Hanbal
- Kitab al-Intifa' bi Uhubis Siba'
- Kitab al-Muhadramain
- Kitab Man Laisa Lahu illa Rawin Wahidin
- Kitab Auladus Sahabah
- Kitab Auhamul Muhadisin
Kitabnya
yang paling terkenal sampai kini ialah Al-Jamius Syahih atau Syahih
Muslim. Di antara kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat
bermanfat luas, serta masih tetap beredar hingga kini ialah Al Jami’
as-Sahih, terkenal dengan Sahih Muslim. Kitab ini merupakan salah satu
dari dua kitab yang paling sahih dan murni sesudah Kitabullah. Kedua
kitab Sahih ini diterima baik oleh segenap umat Islam. Imam Muslim telah
mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan
para perawi, menyaring hadits-hadits yang diriwayatkan, membandingkan
riwayat riwayat itu satu sama lain. Muslim sangat teliti dan hati-hati
dalam menggunakan lafaz-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan adanya
perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang sedemikian rupa,
maka lahirlah kitab Sahihnya.
ANNASA’I
Imam
Nasa`i dengan nama lengkapnya Ahmad bin Syu'aib Al Khurasany, Beliau
terkenal dengan nama An Nasa`i karena dinisbahkan dengan kota Nasa'i
salah satu kota di Khurasan. Beliau dilahirkan pada tahun 215 Hijriah
demikian menurut Adz Dzahabi. Dan beliau meninggal dunia pada hari Senin
tanggal 13 Shafar 303 Hijriah di Palestina dan beliau dikuburkan di
Baitul Maqdis. Beliau menerima Hadits dari Sa'id, Ishaq bin Rawahih dan
ulama-ulama lainnya selain itu dari kalangan tokoh ulama ahli hadits
yang berada di Khurasanb, Hijaz, Irak, Mesir, Syam, dan Jazirah Arab.
Beliau termask diantara ulama yang ahli di bidang ini dan karena
ketinggian sanad hadtsnya. Beliau lebih kuat hafalannya menurut para
ulama ahli hadits dari Imam Muslim dan kitab Sunan An Nasa`i lebih
sedikit hadits dhaifnya (lemah) setelah Hadits Sahih Bukhari dan Sahih
Muslim. Beliau pernah menetap di Mesir Para guru beliau yang nama
harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa`id,
Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin
Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa
al-Tirmidzi (penyusun al-Jami`/Sunan al-Tirmidzi).
Murid-muridnya
murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau, antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu`jam), Abu Ja`far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakr bin Ahmad al-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam al-Nasa`i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa`i. Sudah mafhum dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu hadis, para imam hadis merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadis kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.
Murid-muridnya
murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau, antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu`jam), Abu Ja`far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakr bin Ahmad al-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam al-Nasa`i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa`i. Sudah mafhum dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu hadis, para imam hadis merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadis kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.
Karangannya
Karangan-karangan
beliau yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah
antara lain; al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra (kitab ini merupakan
bentuk perampingan dari kitab al-Sunan al-Kubra), al-Khashais, Fadhail
al-Shahabah, dan al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan
oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya Jami al-Ushul, kitab
ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi`i. Untuk
pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan al-Nasa`i, kitab ini dikenal
dengan al-Sunan al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, beliau
kemudian menghadiahkan kitab ini kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah)
sebagai tanda penghormatan. Amir kemudian bertanya kepada al-Nasa`i,
“Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis shahih?” Beliau menjawab
dengan kejujuran, “Ada yang shahih, hasan, dan adapula yang hampir
serupa dengannya”. Kemudian Amir berkata kembali, “Kalau demikian
halnya, maka pisahkanlah hadis yang shahih-shahih saja”. Atas permintaan
Amir ini, beliau kemudian menyeleksi dengan ketat semua hadis yang
telah tertuang dalam kitab al-Sunan al-Kubra. Dan akhirnya beliau
berhasil melakukan perampingan terhadap al-Sunan al-Kubra, sehingga
menjadi al-Sunan al-Sughra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa dinilai
bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab yang
pertama. Imam al-Nasa`i sangat teliti dalam menyeleksi hadis-hadis yang
termuat dalam kitab pertama. Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar
“Kedudukan kitab al-Sunan al-Sughra dibawah derajat Shahih al-Bukhari
dan Shahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit sekali hadis dhaif
yang terdapat di dalamnya”. Nah, karena hadis-hadis yang termuat di
dalam kitab kedua (al-Sunan al-Sughra) merupakan hadis-hadis pilihan
yang telah diseleksi dengan super ketat, maka kitab ini juga dinamakan
al-Mujtaba. Pengertian al-Mujtaba bersinonim dengan al-Maukhtar (yang
terpilih), karena memang kitab ini berisi hadis-hadis pilihan,
hadis-hadis hasil seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra. Disamping
al-Mujtaba, dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan
al-Mujtana. Pada masanya, kitab ini terkenal dengan sebutan al-Mujtaba,
sehingga nama al-Sunan al-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman
nama al-Mujtaba. Dari al-Mujtaba inilah kemudian kitab ini kondang
dengan sebutan Sunan al-Nasa`i, sebagaimana kita kenal sekarang. Dan
nampaknya untuk selanjutnya, kitab ini tidak akan mengalami perubahan
nama seperti yang terjadi sebelumnya.
IBNU MAJAH
Di
suatu hari tepatnya pada tahun 209/284 Masehi Allah menurunkan
anugerahnya kepada rakyat daerah Qazwin, karena di tempat itulah seorang
imam yang jujur dan cerdas dilahirkan. Imam itu adalah Abu Abdullah
Muhammad bin Yazid Ar-Rabî'î bin Majah Al-Qazwinî Al-Hâfidz, namun iman
tersebut dengan sebutan Ibnu Majah. Sebutan Majah ini dinisbatkan kepada
ayahnya Yazid, yang juga dikenal dengan sebutan Majah Maula Rab'at. Ada
juga yang mengatakan bahwa Majah adalah ayah dari Yazid. Walaupun
demikian, tampaknya pendapat pertama yang lebih valid. Beliau mulai
mengecap dan menginjakkan kakinya di dunia pendidikan sejak usia remaja,
dan menekuni pada bidang hadits sejak menginjak usia 15 tahun pada
seorang guru yang ternama pada kala itu, yaitu Ali bin Muhammad
At-Tanafasy (wafat tanggal 233 H). Bakat dan minat yang sangat besar
yang dimilikinyalah yang akhirnya membawa beliau berkelana ke penjuru
negeri untuk menelusuri ilmu hadits. Sepanjang hayatnya beliau telah
mendedikasikan pikiran dan jiwanya dengan menulis beberapa buku Islam,
seperti buku fikih, tafsir, hadits, dan sejarah. Dalam bidang sejarah
beliau menulis buku "At-Târîkh" yang mengulas sejarah atau biografi para
muhaddits sejak awal hingga masanya, dalam bidang tafsir beliau menulis
buku "Al-Qur'ân Al-Karîm” dan dalam bidang hadits beliau menulis buku
"Sunan Ibnu Majah". Disayangkan sekali karena buku "At-Târîkh" dan
"Al-Qur'ân Al-Karîm" itu tidak sampai pada generasi selanjutnya karena
dirasa kurang monumental. Suatu hari umat Islam di dunia ditipa ujian,
kesedihan menimpa kalbu mereka. Karena setelah memberikan kontribusi
yang berarti bagi umat, akhirnya sang imam yang dicintai ini dipanggil
oleh yang Maha Kuasa pada hari Senin tanggal 22 Ramadhan 273 H/887 M.
Almarhum dimakamkan hari Selasa di tanah kelahirannya Qazwîn, Iraq. Ada
pendapat yang mengatakan beliau meninggal pada tahun 275 H, namun
pendapat yang pertama lebih valid. Walaupun beliau sudah lama sampai ke
finish perajalanan hidupnya, namun hingga kini beliau tetap dikenang dan
disanjung oleh seluruh umat Islam dunia. Dan ini adalah bukti bahwa
beliau memang seorang ilmuan sejati.
Perjalanan Menuntut Ilmu
Sama
halnya dengan para imam-imam terdahulu yang gigih menuntut ilmu,
seorang imam terkenal Ibnu Majah juga melakukan perjalanan yang cukup
panjang untuk mencari secercah cahaya ilmu Ilahi, karena ilmu yang
dituntut langsung dari sumbernya memiliki nilai lebih tersendiri
daripada belajar di luar daerah ilmu itu berasal. Oleh sebab itu beliau
sudah melakukan rihlah ilmiyah-nya ke beberapa daerah; seperti kota-kota
di Iraq, Hijaz, Syam, Pârs, Mesir, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah,
Damaskus, Ray (Teheran) dan Konstatinopel. Dalam pengembaraannya beliau
bertemu banyak guru yang dicarinya, dari merekalah nantinya ia menggali
sedalam-dalamnya ilmu pengetahuan dan menggali potensinya. Rihlah ini
akhirnya menghasilkan buah yang sangat manis dan bermanfaat sekali bagi
kelangsungan gizi umat Islam, karena perjalanannya ini telah membidani
lahirnya buku yang sangat monumental sekali, yaitu kitab "Sunan Ibnu
Majah"
Para Guru dan Murid Imam Ibnu Majah
Para Guru dan Murid Imam Ibnu Majah
Guru
sangat berperan sekali dalam tingkat keintelektualan anak didiknya,
maka tak heran kalau guru yang cakap dalam metodologi pengajarannya
sering kita temui peserta didiknya juga lebih terarah dan terdidik. Maka
eksistensi guru ini suatu barang mahal dalam dunia pendidikan. Dalam
perjalanan konteks rihlah ilmiyah-nya ternyata banyak para syeikh pakar
yang ditemui sang imam dalam bidang hadits; diantaranya adalah kedua
anak syeikh Syaibah (Abdullah dan Usman), akan tetapi sang imam lebih
banyak meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abi Syaibah. Dan juga Abu
Khaitsamah Zahîr bin Harb, Duhîm, Abu Mus'ab Az-Zahry, Al-Hâfidz Ali bin
Muhammad At-Tanâfasy, Jubârah bin Mughallis, Muhammad bin Abdullah bin
Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam dan para
pengikut perawi dan ahli hadits imam Malik dan Al-Lays
CARA MENGETAHUI KESHOHEHAN HADITS
Penelitian Hadit di Masa Lalu
Di
zaman dahulu, sungguh panjang proses untuk memastikan apakah sebuah
perkataan seseorang yang diklaim sebagai hadits itu benar-benar
merupakan perkataan beliau SAW.
Para
peneliti itu kemudian melakukan penelusuran jalur periwayatan. Dari
siapakah seseorang menerima riwayat? Dan bagaimanakah keadaan perawi
itu, baik dari sisi pengamalan agamanya (al-’adalah) atau pun dari sisi hafalannya (dhabit).
Dua
kriteria itu yang dijadikan pedoman dasar. Kalau ada seorang dari jalur
periwayatan yang tidak memenuhi salah satu dari dua standar itu, maka
mereka dicacat dan dicatat. Istilah dalam ilmu haditsnya, mereka
ditetapkan sebagai majruh (orang yang cacat), di mana semua hadits riwayat mereka tidak bisa diterima lagi.
Sekian ribu ulama peneliti berkeliling dunia untuk membuat sebuah database para perawi, lengkap dengan catatan track recordnya
masing-masing. Karena para shahabat nabi sebagai sumber utama
hadits-hadits itu tersebar di seantero dunia, maka murid-murid para
shahabat nabi itu pun tersebar di seluruh permukaan bumi.
Bisa
dibayangkan bagaimana panjang dan uniknya perjalanan demi perjalanan
yang dilakukan demi penelitian ini, sehingga kalau difilmkan akan
menjadi begitu dahsyat. Sayangnya, orang kafir dan orientalis selalu
berupaya menutupi fenomena ini.
Lahirlah
di masa itu para begawan ahli kritik sanad seperti Al-Bukhari, Muslim,
Ahmad bin Hanbal, At-Tirmizy dan seterusnya. Masing-masing selain
berkelana menelusuri jejak periwayatan hadits, juga melakukan penilaian
langsung atas para perawi. Dan hasilnya akan sangat berguna dalam
menilai keshahihan suatu hadits.
Maka
di zaman sekarang ini, cara yang paling sederhana untuk mengetahui
apakah suatu hadits itu shahih atau tidak, kita bisa membaca kitab yang
sudah disusun oleh tokoh seperti Al-Bukhari dan Muslim. Sebab keduanya
telah melakukan kerja besar untuk mengumpulkan hadits-hadits shahih
dalam satu buku.
Penelitian Atas Keshahihan Hadits di Masa Sekarang
Selain
melahirkan tokoh begawan hadits, masa itu juga melahirkan berbagai
kitab yang berisi tulisan dan data para perawi. Dan buku-buku semacam
itu hanya ada dalam sejarah Islam, tidak pernah ada buku tentang data
para perawi hadits di dalam agama mana pun di dunia ini.
Singkatnya
dari buku-buku tentang rijalul hadits itulah kemudian para peneliti di
masa berikutnya bisa tetap melakukan kerja-kerja besar. Mereka melakukan
penelitian antara satu buku dengan buku lainnya di perpustakaan besar.
Misalnya
yang dilakukan oleh al-’allamah Syeikh Nashiruddin Al-Albani di
perpustakaan Islam Damaskus Syiria. Siang malam beliau menghabiskan
waktu di perpustakaan itu, sampai petugas menyerahkan kepadanya kunci
perpustakaan, sehingga kapan pun beliau mau masuk atau keluar, bisa
dilakukan sesuka hati.
Tentu
saja kerja seperti itu tidak digaji, dan motivasinya bukan uang,
melainkan ibadah kepada Allah SWT. Dan boleh jadi nilai pahalanya jauh
lebih besar dari orang yang i’tikaf berdzikir di masjid. Karena kerja
seperti itu sungguh bermanfaat buat umat.
Penelitian Hadits Di Indonesia
Kegiatan
seperti yang dilakukan oleh Syeikh Nasiruddin itu juga mulai dilakukan
secara kecil-kecilan di negeri kita. Adalah seorang Dr. Lutfi Fathullah
MA, yang wawancaranya pernah kami muat di situs ini telah menyediakan
perpustakaannya bagi para mahasiswa dan penuntut ilmu hadits. Mereka
melakukan apa yang oleh orang lain seolah mustahil, tetapi kenyataannya
bisa berjalan.
Kebanyakan
memang mahasiswa beliau di fakultas hadits yang ikut dalam kegiatan
yang hampir punah itu. Mereka berkenalan langsung dengan kitab-kitab
klasik yang juga dipakai oleh Al-Albani dan para pakar hadits dunia.
Kitab
demi kitab yang tebal berjilid-jilid itu mereka buka, lembar demi
lembar mereka bolak balik, persis seperti muhaddits besar.
Intinya,
begitu kita menemukan teks hadit hadits itu, maka kita periksan
nama-nama perawinya sampai kepada tingkat shahabat dan Rasulullah SAW.
Lalu nama-nama itu kita cari di beberapa buku rijalul hadits, dan apa
yang kita dapat itu tentang data para perawi itu nantinya akan
berbicara. Misalnya, adakah di antara para perawi itu yang cacat. Kalau
ada, bisa dipertegas apa cacatnya, dari jenis apa dan seberapa parah.
Selain
itu juga diperiksa masa hidup antara satu perawi dengan perawi lain,
juga tempat tinggal mereka. Adakah benang merah yang bisa menyambungkan
sanad periwayatannya. Atau jangan-jangan mereka tidak pernah bertemu
dalam satu zaman dan seterusnya.
PENGERTIAN SANAD DAN MATAN
B. Sanad
Sanad
ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas
seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam
bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan
gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya
maka sanad hadits bersangkutan adalah
Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW
Sebuah
hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi
bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan
thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah
sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih
jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah :
· Keutuhan sanadnya
· Jumlahnya
· Perawi akhirnya
Sebenarnya,
penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini
diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya.
Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip
hadits-hadits nabawi.
C. Matan
Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah:
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadist ialah:
· Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
· Matan
hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat
sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya
dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang)