Aksiologi Etis Ilmu Pengetahuan

AKSIOLOGI ETIS ILMU PENGETAHUAN

I.Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari sejarah perkembangan filsafat ilmu, sehingga muncullah ilmuan yang digolongkan sebagai filosof dimana mereka menyakini adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat ilmu. Filsafat ilmu yang dimaksud di sini adalah sistem kebenaran ilmu sebagai hasil dari berfikir radikal, sistematis dan universal.Oleh karena itu, Filsafat ilmu hadir sebagai upaya menata kembali peran dan fungsi Iptek sesuai dengan tujuannya, yakni memfokuskan diri terhadap kebahagian umat manusia.
Ilmu pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir manusia adalah wahana untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses penerapan itulah yang menghasilkan peralatan-peralatan dan berbagai sarana hidup seperti kapak dan batu di zaman dahulu hingga peralatan komputer di zaman sekarang ini, serta alat-alat yang lebih canggih (mutakhir) lagi untuk masa-masa mendatang.
Meskipun demikian, pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan tetap didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni; apa yang ingin diketahui, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan, dan bagaimana nilai pengetahuan itu. Masalah yang terakhir ini, yaitu nilai ilmu pengetahuan ber-kenaan dengan aksiologi.yang mana nilai ilmu tidak lepas dari persoalan prilaku yang sesuai dengan moralitas, berkaitan dengan hal itu, kemudian muncul dua teori yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat diukur secara etis. Teori yang dimaksud adalah Deontologis dan Teologis.
B. Rumusan Masalah
Berdasar dari uraian latar belakang sebelumnya maka masalah pokok yang dibahas dalam kajian ini adalah bagaimana aksiologi etis ilmu pengetahuan ,agar kajiannya terarah dan sistematis, berikut ini dikemukakan tiga sub masalah, yakni :
1.      Bagaimana tinjauan tentang ilmu dari segi nilai (aksiologi) ?
2.      Bagaimana pandangan filsafat terhadap Aksiologis ?
3.      Bagaimana aksiologi etis ilmu pengetahuan pada teori Deontologis dan teori Teologis?
II. PEMBAHASAN
A. Tinjauan tentang Ilmu dari segi Nilai (Aksiologi)
Kata “ilmu” secara etimologis dalam berasal dari bahasa Arab (علم) mengandung arti mengetahui, mengenal memberi tanda dan petunjuk yang berantonim dari makna naqid al-jahl (tidak tahu) Karena itu, dipahami bahwa ilmu adalah sebagai suatu pengetahuan secara praktis yang dipakai untuk menunjuk pada pengetahuan sistematis tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan subyek tertentu.untuk lebih jelasnya, perlu pula dikemukakan beberapa pendapat tentang pengertian ilmu secara terminologi.
·         John Ziman menyatakan bahwa ilmu adalah kajian tentang dunia material yang memiliki obyek tertentu.Pengertian ini mengindikasikan bahwa ilmu memiliki batasan tertentu yang harus dikelolah sehingga bermuara pada suatu pengetahuan tentang sesuatu.
·         Al-Qadhi ‘Abd. al-Jabbar bahwa العلم يقتضى سكون العالم الى ماتناوله (ilmu adalah suatu makna yang dapat menentramkan hati bagi seorang alim terhadap apa yang telah dicapainya). Pengertian ini mengindikasikan adanya ketentraman dan ketenangan jiwa apabila berhasil dalam pencariannya. Walaupun demikian, pengertian ini (menurut penulis) hanya berlaku kepada mereka yang bergelut dalam ilmu-ilmu yang bermanfaat.
·         Imam al-Gazali bahwa العلم هو حصول المثال فى القلب  (ilmu itu adalah tejadinya gambaran di dalam hati). Pengertian ini mengindikasikan bahwa gambaran esensi sesuatu itu ada di dalam hati, bukan berarti yang dimaksud di sini hanya semata-semata hati saja. Al-Gazali menganggap bahwa hati adalah bagian dariبصيرة  yang di dalamnya tercakup akal. Berdasarkan hal ini maka ia mengembalikan pengertian ilmu ke dalam dua komponen yaitu البصيرة البطنية  yaitu akal dan hati, hakikat atau esensi sesuatu sebagai obyek pokok dan cara terjadinya gambaran sesuatu itu.
·         Nurcholish Madjid salah seorang pemikir Muslim di Indonesia juga bahwa ilmu pengetahuan itu netral baik yang alamiah maupun yang sosial. Artinya tidak mengandung nilai (bebas nilai) kebaikan atau kejahatan pada dirinya sendiri. Nilainya diberikan oleh manusia yang memiliki dan menguasainya.
Apa yang dikemukakan Nurcholish Madjid di atas mengindikasikan ilmu pengetahuan berkaitan dengan aksiologi. Dalam hal ini, Aksiologi menurut bahasa berasal dari bahasa yunani “axios” yang berarti bermanfaat dan ‘logos’ berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Secara istilah, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan.Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan bahwa aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan kebenaran). Dengan demikian aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika. Dengan kata lain, apakah yang baik atau bagus itu.
Scheleer dan Langeveld (Wiramihardja, 2006: 155-157) memberikan definisi tentang aksiologi sebagai berikut. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara moral. Adapun Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek.
Kattsoff (2004: 319) mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Kattsoff (2004: 323) menyatakan bahwa pertanyaan mengenai hakekat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara yaitu:
  • Subyektivitas yatu nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung dari pengalaman. Suatu nilai menjadi suatu yang subyektif apabila sunyek berperan dalam memberikan penilaian kesadaran manusia yang menjadi tolak ukur penilaian, dengan demikian selalu memperhatiakan berbagai pandangan yang dimiliki akal manusia seperti perasaan yang mengarah suka dan tidak suka atau senang dan tidak senang.
  • Obyektivisme dikatakan obyektiv jika nilai tidak tergantung pada subyek atau kesadaran dalam menilai tolak ukur pada suatu gagasan berada pada obyeknya bukan pada subyeknya yang melakukan penilaian.obyektivitas yang logis yaitu nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Dimana seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran bersifat ideologis, agama , dan budaya.berbeda dengan Obyektivisme pada masa sekarang dimana semuanaya dipertanyakan dengan keadaan sebenarnya karena ilmu sangat berbeda sekali dengan fakta, yang bersifat obyektif dan netral tetapi ilmu adalah fakta dan penjelasan seorang ilmuan. Dalam hal ini diduga adanya kesadaran ilmuan baik yang berasal dari ideology, budaya, lingkungan social maupun agama.
Situasi nilai meliputi empat hal yaitu pertama, segi pragmatis yang merupakan suatu subyek yang memberi nilai. Kedua, segi semantis yang merupakan suatu obyek yang diberi nilai. Ketiga, suatu perbuatan penilaian. Keempat, nilai ditambah perbuatan penilaian.
Jadi Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan, sebagaimana kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil&kawasan simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri-sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu ke dalam parksis.
            Dalam pendekatan oksilogi,Al-kindi mengemukakan bahwa pada dasarnya ilmu harus digunakan & dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia.Dalam hal ini maka ilmu menurutnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat & martabat manusia serta kelestarian atau keseimbangan alam.Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh & disusun dipergunakan secara komunal & universal.Komunal berarti,bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama,setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuahannya sesuai dengan komunalisme.Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi parokial,seperti: ras,ideology atau agama.
sedangkan aksiologi menurut Ibnu Sina dapat melalui tiga cara :
·         Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai-nilai itu merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku & keberadaannya tergantung kepada pengalaman-pengalaman mereka.
·         Nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologis namun tidak terdapat dalam ruang & waktu.
·         Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis & dapat diketahui melalui akal, pendirian ini dinamakan objektivisme logis.
·         Nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan, yang demikian ini disebut objektivisme metafisik.
B. Aksiologi dalam Pandangan Aliran-aliran Filsafat
Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat, yakni :
1.  Pandangan Aksiologi Progresivisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah William James (1842-1910), Hans Vahinger, Ferdinant Sciller,  Georger Santayana, dan Jhon Dewey.Menurut progressivisme, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. dengan demikian, adanya pergaulan dalam masyarakat dapat menimbulkan nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan dan individu-individu. Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan antara manusia dan lingkungannya, baik yang terwujud sebagai lingkungan fisik maupun kebudayaan atau manusia.
2. Pandangan Aksiologi Essensialisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini   adalah  Desiderius Erasmus, John Amos Comenius (1592- 1670), John Locke (1632-1704), John Hendrick Pestalalozzi (1746-1827),  John Frederich Frobel (1782-1852), Johann Fiedirich Herbanrth (1776-1841),dan William T. Horris (1835-1909) Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan realisme karena aliran essensialisme terbina dari dua pandangan tersebut.
a. Teori nilai menurut idealisme
Idealisme berpandangan bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos karena itu seseorang dikatakan baik, jika banyak berinteraksi dalam pelaksanaan hukum-hukum itu. Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk itu, ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat menunjukkan keindahan pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.
b. Teori nilai menurut realisme
Menurut realisme, sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik dan buruknya keadaan manusia tergantung pada keturunan dan lingkungannya. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan antara pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-pengaruh lingkungannya. George Santayana memadukan pandangan idealisme dan realisme dalam suatu sintesa dengan menyatakan bahwa “nilai” itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian, dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung tinggi asas otoriter atau nilai-nilai, namun tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri
3. Pandangan Aksiologi Perenialisme
Tokoh utama aliran  ini diantaranya  Aristoteles (394 SM) St. Thomas Aquinas. Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial dan kultural yang lain. Sedangkan menyangkut nilai aliran ini memandangnya berdasarkan asas-asas ‘supernatular‘, yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu, tidak hanya ontologi, dan epistemolagi yang didasarkan pada teologi dan supernatural, tetapi juga aksiologi. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh potensi kebaikan dan keburukan yang ada pada dirinya. Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia terletak pada jiwanya. Oleh karena itulah hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya.
4. Pandangan Aksiologi Rekonslruksionisme
Aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang berusaha merombak kebudayaan modern. Sejalan dengan pandangan perenialisme yang memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan,dan kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionalisme dalam memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan kerja sama.
C.Aksiologi Etis Pada Teori Deontologi dan Teleologi
Etika atau Etis berasal dari kata Yunani ethos yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Dalam pemahaman umum, etika selalu dikaitkan dengan kebiasaan hidup yang baik, yang berlaku pada diri sendiri, dan pada masyarakat. Etika biasanya merujuk pada nilai, atau norma yang diteruskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Dalam pengertian yang lain, etika diartikan sebagai sistem atau kode yang dianut. Jadi, etika dapat diartikan sebagai filsafat tentang nilai-nilai moral, cara berpikir, sikap, adat istiadat, dan akhlak tentang baik dan buruk. Pada umumnya, etika ini banyak dikenalkan dan diajarkan dalam suatu agama, atau bahkan dapat dikatakan diajarkan dalam semua agama yang ada di dunia ini. Dengan demikian, agama menjadi sumber etika, walaupun tentu saja etika yang diajarkan akan berbeda antara satu agama dengan agama lain.
ada dua teori etika dalam kehidupan ini, yaitu etika deontologi, dan etika teleologi. Etika deontologi berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban. Oleh karena itu, etika ini menekankan orang untuk bertindak secara baik. Sebuah tindakan, menurut etika deontologi, dikatakan baik bukan karena akibat atau tujuannya baik, tetapi berdasarkan tindakan itu sendiri baik. Sedangkan etika teleologi adalah tindakan yang mengatur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu Teori ini memunculkan dua pandangan, yaitu egoisme dan utilitarianisme (utilisme). Tokoh yang mengajarkan adalah Jeremy Bentham (1742 – 1832), yang kemudian diperbaiki oleh john Stuart Mill (1806–1873).Mencuri, dalam pandangan etika teleologi tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan baik buruknya tindakan itu sendiri, melainkan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu. Tindakan seorang anak mencuri demi membayar pengobatan ibunya yang sakit parah, akan dinilai baik, dalam etika teleologi, terlepas dari kenyataan bahwa anak itu dapat dikenakan hukuman bila kedapatan mencuri.
Berbeda dengan etika teleologi, hukum mencuri dalam ajaran Islam, bukan dilihat pada tujuan yang ingin dicapai atau akibat yang ditimbulkan oleh pencurian. Dalam ajaran Islam, mencuri tetap tidak baik atau tidak beretika, karena mencuri melanggar aturan agama. Dalam Islam, bukan logika dan realitas dan akibat mencuri yang dijadikan tolok ukur seseorang dikatakan beretika atau tidak, tetapi ketaatannya pada aturan yang ditetapkan oleh agama. Bila yang dilihat lebih dahulu adalah dampak yang ditimbulkan atau akibat atau tujuan dari suatu perbuatan, maka banyak ajaran Islam yang tidak berarti lagi, bahkan akan hilang. Misalnya, seorang mencuri untuk disumbangkan kepada pembangunan masjid dinilai baik, karena tujuannya baik, maka seorang pencuri bisa jadi tetap dikatakan beretika. Atau seorang koruptor, dengan tujuan ingin disumbangkan kepada pembangunan pondok pesantren, bisa jadi dinilai tidak melanggar etika, karena tujuan yang hendak dicapainya baik.
Oleh karena itu Kaum deontology intinya berpendapat;bahwa suatu tindakan dinilai bukan dari hasil atau akibatnya,tetapi dinilai dari sifat-sifat tertentu atau tindakan serta peraturan yang mengatur itu sendiri.Artinya tindakan itu dibolehkan atau tidak dibolehkan dan tidak perlu melihat akibat-akibat yang ditimbulkannya.Sebagai contoh ekstrim dari pendapat para deontolog dalam praktik diberikan ilustrasi; jujur adalah norma moral yang harus dilakukan dan tidak perlu harus dipertimbangkan dari akibat-akibat yang mungkin ditimbulkannya. Begitu juga sikap-sikap seperti; tidak jujur, tidak setia dan sebagainya? Dengan alasan apapun, selalu hal itu tidak dapat dibenarkan. Kalau ada orang yang memperoleh keuntungan, kenikmatan, kesenangan atas perilaku tidak jujur, tidak setia dan lainnya; itu pun tetap tidak boleh dilakukan.
            Filsuf besar jerman Immanuel Kant adalah pemikir yang mengetengahkan deontologi ini. Dikatakannya; yang biasa disebut baik itu, sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik, kekayaan, kecerdasaan, dan lainnya adalah baik, apabila digunakan dengan itikad (niat) baik. Sebaliknya akan sama sekali merusak kalau disadari dengan kehendak yang buruk.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasar dari uraian-uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan hasil interaksi manusia dengan obyek tertentu menghasilkan sesuatu pengetahuan dan itulah yang disebut ilmu. Ilmu pengetahuan “bebas nilai (value free of sciences)” ia netral, dan karena ini maka ilmu tersebut berkaitan dengan pertimbangan aksiologi. Aksiolgi yang dimaksud di sini adalah cabang filsafat yang mempelajari nilai-nilai. Atau dengan kata lain aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan.
Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat. Terdapat beberapa pandangan tentang hal tersebut, misalnya pandangan aksiologi aliran progresivisme bahwa nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. Pandangan aksiologi dalam aliran essensialisme menyatakan bahwa nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan realisme. Pandangan aksiologi dalam aliran perenialisme adalah nilai berdasarkan asas-asas ‘supernatular‘, yakni menerima universal yang abadi. Pandangan aksiologi dalam aliran rekonslruksionisme memandang nilai adalah untuk memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan kerja sama.
ada dua teori etika dalam kehidupan etika deontologi, dan etika teleologi. Etika deontologi berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban. Oleh karena itu, etika ini menekankan orang untuk bertindak secara baik. Sebuah tindakan, menurut etika deontologi, dikatakan baik bukan karena akibat atau tujuannya baik, tetapi berdasarkan tindakan itu sendiri baik. Sedangkan etika teleologi adalah tindakan yang mengatur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Peradaban Islam, Jakarta, Pustaka Amani, 1994.
Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan Pengantar Mengenai Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset, 1990.
Daud, Wan Mohd. Nor Wan. The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmi, et. all dengan judul Filsafat dan Praktik Pendidi-kan Islam Syed M. Naquib al-Attas. Cet. I; Bandung: Mizan, 2003.
Ihsan, Fuad, Drs. Filsafat Ilmu, Jakarta, Rineka Cipta, 2010.
Kunarto. 1996. Etika Kepolisian. Jakarta : PT Cipta Manunggal.
M. Dahlan Yacub al-Barry, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Surabaya, Arkola, 2001.
Nata Abuddin.Drs.1997. AkhlakTasawuf. Jakarta:PT Raja Grapindo Persada.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Heri Fadraneldi :*

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger