AKSIOLOGI ETIS ILMU PENGETAHUAN
I.Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari sejarah perkembangan
filsafat ilmu, sehingga muncullah ilmuan yang digolongkan sebagai
filosof dimana mereka menyakini adanya hubungan antara ilmu pengetahuan
dengan filsafat ilmu. Filsafat ilmu yang dimaksud di sini adalah sistem
kebenaran ilmu sebagai hasil dari berfikir radikal, sistematis dan
universal.Oleh karena itu, Filsafat ilmu hadir sebagai upaya menata
kembali peran dan fungsi Iptek sesuai dengan tujuannya, yakni
memfokuskan diri terhadap kebahagian umat manusia.
Ilmu
pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir manusia adalah
wahana untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan
pengetahuan yang diperolehnya. Proses penerapan itulah yang menghasilkan
peralatan-peralatan dan berbagai sarana hidup seperti kapak dan batu di
zaman dahulu hingga peralatan komputer di zaman sekarang ini, serta
alat-alat yang lebih canggih (mutakhir) lagi untuk masa-masa mendatang.
Meskipun
demikian, pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan
tetap didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni; apa yang ingin
diketahui, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan, dan bagaimana
nilai pengetahuan itu. Masalah yang terakhir ini, yaitu nilai ilmu
pengetahuan ber-kenaan dengan aksiologi.yang mana nilai ilmu tidak lepas
dari persoalan prilaku yang sesuai dengan moralitas, berkaitan dengan hal
itu, kemudian muncul dua teori yang menjelaskan bagaimana suatu
perilaku itu dapat diukur secara etis. Teori yang dimaksud adalah
Deontologis dan Teologis.
B. Rumusan Masalah
Berdasar
dari uraian latar belakang sebelumnya maka masalah pokok yang dibahas
dalam kajian ini adalah bagaimana aksiologi etis ilmu pengetahuan ,agar
kajiannya terarah dan sistematis, berikut ini dikemukakan tiga sub
masalah, yakni :
1. Bagaimana tinjauan tentang ilmu dari segi nilai (aksiologi) ?
2. Bagaimana pandangan filsafat terhadap Aksiologis ?
3. Bagaimana aksiologi etis ilmu pengetahuan pada teori Deontologis dan teori Teologis?
II. PEMBAHASAN
A. Tinjauan tentang Ilmu dari segi Nilai (Aksiologi)
Kata “ilmu” secara etimologis dalam berasal dari bahasa Arab (علم) mengandung arti mengetahui, mengenal memberi tanda dan petunjuk yang berantonim dari makna naqid al-jahl (tidak
tahu) Karena itu, dipahami bahwa ilmu adalah sebagai suatu pengetahuan
secara praktis yang dipakai untuk menunjuk pada pengetahuan sistematis
tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan subyek tertentu.untuk
lebih jelasnya, perlu pula dikemukakan beberapa pendapat tentang
pengertian ilmu secara terminologi.
· John
Ziman menyatakan bahwa ilmu adalah kajian tentang dunia material yang
memiliki obyek tertentu.Pengertian ini mengindikasikan bahwa ilmu
memiliki batasan tertentu yang harus dikelolah sehingga bermuara pada
suatu pengetahuan tentang sesuatu.
· Al-Qadhi ‘Abd. al-Jabbar bahwa العلم يقتضى سكون العالم الى ماتناوله
(ilmu adalah suatu makna yang dapat menentramkan hati bagi seorang alim
terhadap apa yang telah dicapainya). Pengertian ini mengindikasikan
adanya ketentraman dan ketenangan jiwa apabila berhasil dalam
pencariannya. Walaupun demikian, pengertian ini (menurut penulis) hanya
berlaku kepada mereka yang bergelut dalam ilmu-ilmu yang bermanfaat.
· Imam al-Gazali bahwa العلم هو حصول المثال فى القلب
(ilmu itu adalah tejadinya gambaran di dalam hati). Pengertian ini
mengindikasikan bahwa gambaran esensi sesuatu itu ada di dalam hati,
bukan berarti yang dimaksud di sini hanya semata-semata hati saja.
Al-Gazali menganggap bahwa hati adalah bagian dariبصيرة yang di
dalamnya tercakup akal. Berdasarkan hal ini maka ia mengembalikan
pengertian ilmu ke dalam dua komponen yaitu البصيرة البطنية yaitu akal dan hati, hakikat atau esensi sesuatu sebagai obyek pokok dan cara terjadinya gambaran sesuatu itu.
· Nurcholish
Madjid salah seorang pemikir Muslim di Indonesia juga bahwa ilmu
pengetahuan itu netral baik yang alamiah maupun yang sosial. Artinya
tidak mengandung nilai (bebas nilai) kebaikan atau kejahatan pada
dirinya sendiri. Nilainya diberikan oleh manusia yang memiliki dan
menguasainya.
Apa
yang dikemukakan Nurcholish Madjid di atas mengindikasikan ilmu
pengetahuan berkaitan dengan aksiologi. Dalam hal ini, Aksiologi menurut
bahasa berasal dari bahasa yunani “axios” yang berarti bermanfaat dan
‘logos’ berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Secara istilah, aksiologi
adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau
dari sudut kefilsafatan.Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan bahwa
aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti
dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan kebenaran). Dengan demikian
aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika
dan estetika. Dengan kata lain, apakah yang baik atau bagus itu.
Scheleer
dan Langeveld (Wiramihardja, 2006: 155-157) memberikan definisi tentang
aksiologi sebagai berikut. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan
praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering
dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan
baik secara moral. Adapun Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi
terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan
bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang,
sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian
yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek.
Kattsoff
(2004: 319) mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang
menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang
kefilsafatan. Kattsoff (2004: 323) menyatakan bahwa pertanyaan mengenai
hakekat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara yaitu:
- Subyektivitas yatu nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung dari pengalaman. Suatu nilai menjadi suatu yang subyektif apabila sunyek berperan dalam memberikan penilaian kesadaran manusia yang menjadi tolak ukur penilaian, dengan demikian selalu memperhatiakan berbagai pandangan yang dimiliki akal manusia seperti perasaan yang mengarah suka dan tidak suka atau senang dan tidak senang.
- Obyektivisme dikatakan obyektiv jika nilai tidak tergantung pada subyek atau kesadaran dalam menilai tolak ukur pada suatu gagasan berada pada obyeknya bukan pada subyeknya yang melakukan penilaian.obyektivitas yang logis yaitu nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Dimana seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran bersifat ideologis, agama , dan budaya.berbeda dengan Obyektivisme pada masa sekarang dimana semuanaya dipertanyakan dengan keadaan sebenarnya karena ilmu sangat berbeda sekali dengan fakta, yang bersifat obyektif dan netral tetapi ilmu adalah fakta dan penjelasan seorang ilmuan. Dalam hal ini diduga adanya kesadaran ilmuan baik yang berasal dari ideology, budaya, lingkungan social maupun agama.
Situasi
nilai meliputi empat hal yaitu pertama, segi pragmatis yang merupakan
suatu subyek yang memberi nilai. Kedua, segi semantis yang merupakan
suatu obyek yang diberi nilai. Ketiga, suatu perbuatan penilaian.
Keempat, nilai ditambah perbuatan penilaian.
Jadi
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang
pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi
meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran
atau kenyataan, sebagaimana kehidupan kita yang menjelajahi berbagai
kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil&kawasan
simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri-sendiri. Lebih
dari itu, aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita
perhatikan di dalam menerapkan ilmu ke dalam parksis.
Dalam pendekatan oksilogi,Al-kindi mengemukakan bahwa pada dasarnya ilmu harus digunakan & dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia.Dalam hal ini maka ilmu menurutnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat & martabat manusia serta kelestarian atau keseimbangan alam.Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh & disusun dipergunakan secara komunal & universal.Komunal berarti,bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama,setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuahannya sesuai dengan komunalisme.Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi parokial,seperti: ras,ideology atau agama.
Dalam pendekatan oksilogi,Al-kindi mengemukakan bahwa pada dasarnya ilmu harus digunakan & dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia.Dalam hal ini maka ilmu menurutnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat & martabat manusia serta kelestarian atau keseimbangan alam.Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh & disusun dipergunakan secara komunal & universal.Komunal berarti,bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama,setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuahannya sesuai dengan komunalisme.Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi parokial,seperti: ras,ideology atau agama.
sedangkan aksiologi menurut Ibnu Sina dapat melalui tiga cara :
· Nilai
sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandang ini,
nilai-nilai itu merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia
sebagai pelaku & keberadaannya tergantung kepada
pengalaman-pengalaman mereka.
· Nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologis namun tidak terdapat dalam ruang & waktu.
· Nilai-nilai
tersebut merupakan esensi-esensi logis & dapat diketahui melalui
akal, pendirian ini dinamakan objektivisme logis.
· Nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan, yang demikian ini disebut objektivisme metafisik.
B. Aksiologi dalam Pandangan Aliran-aliran Filsafat
Aksiologi
dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan
pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat, yakni
:
1. Pandangan Aksiologi Progresivisme
Tokoh
yang berpengaruh dalam aliran ini adalah William James (1842-1910),
Hans Vahinger, Ferdinant Sciller, Georger Santayana, dan Jhon
Dewey.Menurut progressivisme, nilai timbul karena manusia mempunyai
bahasa. dengan demikian, adanya pergaulan dalam masyarakat dapat
menimbulkan nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari
dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan dan individu-individu.
Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai
kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan
adanya hubungan antara manusia dan lingkungannya, baik yang terwujud
sebagai lingkungan fisik maupun kebudayaan atau manusia.
2. Pandangan Aksiologi Essensialisme
Tokoh
yang berpengaruh dalam aliran ini adalah Desiderius Erasmus, John
Amos Comenius (1592- 1670), John Locke (1632-1704), John Hendrick
Pestalalozzi (1746-1827), John Frederich Frobel (1782-1852), Johann
Fiedirich Herbanrth (1776-1841),dan William T. Horris (1835-1909) Bagi
aliran ini, nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan
realisme karena aliran essensialisme terbina dari dua pandangan
tersebut.
a. Teori nilai menurut idealisme
Idealisme
berpandangan bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos karena itu
seseorang dikatakan baik, jika banyak berinteraksi dalam pelaksanaan
hukum-hukum itu. Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi
perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang
yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain
yang membutuhkan suasana tenang haruslah bersikap formal dan teratur.
Untuk itu, ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan
dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat menunjukkan
keindahan pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.
b. Teori nilai menurut realisme
Menurut
realisme, sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan
lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik dan buruknya keadaan
manusia tergantung pada keturunan dan lingkungannya. Perbuatan seseorang
adalah hasil perpaduan antara pembawa-pembawa fisiologis dan
pengaruh-pengaruh lingkungannya. George Santayana memadukan pandangan
idealisme dan realisme dalam suatu sintesa dengan menyatakan bahwa
“nilai” itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena
minat, perhatian, dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya
kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung tinggi asas otoriter
atau nilai-nilai, namun tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif
menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri
3. Pandangan Aksiologi Perenialisme
Tokoh
utama aliran ini diantaranya Aristoteles (394 SM) St. Thomas Aquinas.
Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang
mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan
kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang
membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan
lingkungan sosial dan kultural yang lain. Sedangkan menyangkut nilai
aliran ini memandangnya berdasarkan asas-asas ‘supernatular‘,
yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu, tidak
hanya ontologi, dan epistemolagi yang didasarkan pada teologi dan
supernatural, tetapi juga aksiologi. Tingkah laku manusia dipengaruhi
oleh potensi kebaikan dan keburukan yang ada pada dirinya. Masalah nilai
merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada
asas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya
tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia terletak pada jiwanya. Oleh
karena itulah hakikat manusia itu juga menentukan hakikat
perbuatan-perbuatannya.
4. Pandangan Aksiologi Rekonslruksionisme
Aliran
rekonstruksionalisme adalah aliran yang berusaha merombak kebudayaan
modern. Sejalan dengan pandangan perenialisme yang memandang bahwa
keadaan sekarang merupakan zaman kebudayaan yang terganggu oleh
kehancuran, kebingungan,dan kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionalisme
dalam memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam
kehidupan manusia yang memerlukan kerja sama.
C.Aksiologi Etis Pada Teori Deontologi dan Teleologi
Etika atau Etis berasal dari kata Yunani ethos yang
berarti adat istiadat atau kebiasaan. Dalam pemahaman umum, etika
selalu dikaitkan dengan kebiasaan hidup yang baik, yang berlaku pada
diri sendiri, dan pada masyarakat. Etika biasanya merujuk pada nilai,
atau norma yang diteruskan secara turun temurun dari generasi ke
generasi. Dalam pengertian yang lain, etika diartikan sebagai sistem
atau kode yang dianut. Jadi, etika dapat diartikan sebagai filsafat
tentang nilai-nilai moral, cara berpikir, sikap, adat istiadat, dan
akhlak tentang baik dan buruk. Pada umumnya, etika ini banyak dikenalkan
dan diajarkan dalam suatu agama, atau bahkan dapat dikatakan diajarkan
dalam semua agama yang ada di dunia ini. Dengan demikian, agama menjadi
sumber etika, walaupun tentu saja etika yang diajarkan akan berbeda
antara satu agama dengan agama lain.
ada dua teori etika dalam kehidupan ini, yaitu etika deontologi, dan etika teleologi. Etika deontologi berasal dari kata Yunani deon,
yang berarti kewajiban. Oleh karena itu, etika ini menekankan orang
untuk bertindak secara baik. Sebuah tindakan, menurut etika deontologi,
dikatakan baik bukan karena akibat atau tujuannya baik, tetapi
berdasarkan tindakan itu sendiri baik. Sedangkan etika teleologi adalah
tindakan yang mengatur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan
yang hendak dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu Teori
ini memunculkan dua pandangan, yaitu egoisme dan utilitarianisme
(utilisme). Tokoh yang mengajarkan adalah Jeremy Bentham (1742 – 1832),
yang kemudian diperbaiki oleh john Stuart Mill (1806–1873).Mencuri,
dalam pandangan etika teleologi tidak dinilai baik atau buruk
berdasarkan baik buruknya tindakan itu sendiri, melainkan oleh tujuan
dan akibat dari tindakan itu. Tindakan seorang anak mencuri demi
membayar pengobatan ibunya yang sakit parah, akan dinilai baik, dalam
etika teleologi, terlepas dari kenyataan bahwa anak itu dapat dikenakan hukuman bila kedapatan mencuri.
Berbeda dengan etika teleologi,
hukum mencuri dalam ajaran Islam, bukan dilihat pada tujuan yang ingin
dicapai atau akibat yang ditimbulkan oleh pencurian. Dalam ajaran Islam,
mencuri tetap tidak baik atau tidak beretika, karena mencuri melanggar
aturan agama. Dalam Islam, bukan logika dan realitas dan akibat mencuri
yang dijadikan tolok ukur seseorang dikatakan beretika atau tidak,
tetapi ketaatannya pada aturan yang ditetapkan oleh agama. Bila yang
dilihat lebih dahulu adalah dampak yang ditimbulkan atau akibat atau
tujuan dari suatu perbuatan, maka banyak ajaran Islam yang tidak berarti
lagi, bahkan akan hilang. Misalnya, seorang mencuri untuk disumbangkan
kepada pembangunan masjid dinilai baik, karena tujuannya baik, maka
seorang pencuri bisa jadi tetap dikatakan beretika. Atau seorang
koruptor, dengan tujuan ingin disumbangkan kepada pembangunan pondok
pesantren, bisa jadi dinilai tidak melanggar etika, karena tujuan yang
hendak dicapainya baik.
Oleh karena itu Kaum
deontology intinya berpendapat;bahwa suatu tindakan dinilai bukan dari
hasil atau akibatnya,tetapi dinilai dari sifat-sifat tertentu atau
tindakan serta peraturan yang mengatur itu sendiri.Artinya tindakan itu
dibolehkan atau tidak dibolehkan dan tidak perlu melihat akibat-akibat
yang ditimbulkannya.Sebagai contoh ekstrim dari pendapat para deontolog
dalam praktik diberikan ilustrasi; jujur adalah norma moral yang harus
dilakukan dan tidak perlu harus dipertimbangkan dari akibat-akibat yang
mungkin ditimbulkannya. Begitu juga sikap-sikap seperti; tidak jujur,
tidak setia dan sebagainya? Dengan alasan apapun, selalu hal itu tidak
dapat dibenarkan. Kalau ada orang yang memperoleh keuntungan,
kenikmatan, kesenangan atas perilaku tidak jujur, tidak setia dan
lainnya; itu pun tetap tidak boleh dilakukan.
Filsuf besar jerman Immanuel Kant adalah pemikir yang mengetengahkan deontologi ini. Dikatakannya; yang biasa disebut baik itu, sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik, kekayaan, kecerdasaan, dan lainnya adalah baik, apabila digunakan dengan itikad (niat) baik. Sebaliknya akan sama sekali merusak kalau disadari dengan kehendak yang buruk.
Filsuf besar jerman Immanuel Kant adalah pemikir yang mengetengahkan deontologi ini. Dikatakannya; yang biasa disebut baik itu, sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik, kekayaan, kecerdasaan, dan lainnya adalah baik, apabila digunakan dengan itikad (niat) baik. Sebaliknya akan sama sekali merusak kalau disadari dengan kehendak yang buruk.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasar
dari uraian-uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan hasil interaksi
manusia dengan obyek tertentu menghasilkan sesuatu pengetahuan dan
itulah yang disebut ilmu. Ilmu pengetahuan “bebas nilai (value free of sciences)”
ia netral, dan karena ini maka ilmu tersebut berkaitan dengan
pertimbangan aksiologi. Aksiolgi yang dimaksud di sini adalah cabang
filsafat yang mempelajari nilai-nilai. Atau dengan kata lain aksiologi
adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau
dari sudut kefilsafatan.
Aksiologi
dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan
pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat.
Terdapat beberapa pandangan tentang hal tersebut, misalnya pandangan
aksiologi aliran progresivisme bahwa nilai timbul karena manusia
mempunyai bahasa. Pandangan aksiologi dalam aliran essensialisme
menyatakan bahwa nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan idealisme
dan realisme. Pandangan aksiologi dalam aliran perenialisme adalah nilai
berdasarkan asas-asas ‘supernatular‘, yakni menerima universal
yang abadi. Pandangan aksiologi dalam aliran rekonslruksionisme
memandang nilai adalah untuk memecahkan masalah, mengembalikan
kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan kerja
sama.
ada dua teori etika dalam kehidupan etika deontologi, dan etika teleologi. Etika deontologi berasal dari kata Yunani deon,
yang berarti kewajiban. Oleh karena itu, etika ini menekankan orang
untuk bertindak secara baik. Sebuah tindakan, menurut etika deontologi,
dikatakan baik bukan karena akibat atau tujuannya baik, tetapi
berdasarkan tindakan itu sendiri baik. Sedangkan etika teleologi adalah
tindakan yang mengatur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan
yang hendak dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Peradaban Islam, Jakarta, Pustaka Amani, 1994.
Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan Pengantar Mengenai Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset, 1990.
Daud, Wan Mohd. Nor Wan. The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmi, et. all dengan judul Filsafat dan Praktik Pendidi-kan Islam Syed M. Naquib al-Attas. Cet. I; Bandung: Mizan, 2003.
Ihsan, Fuad, Drs. Filsafat Ilmu, Jakarta, Rineka Cipta, 2010.
Kunarto. 1996. Etika Kepolisian. Jakarta : PT Cipta Manunggal.
M. Dahlan Yacub al-Barry, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Surabaya, Arkola, 2001.
Nata Abuddin.Drs.1997. AkhlakTasawuf. Jakarta:PT Raja Grapindo Persada.
0 komentar:
Posting Komentar