Pengertian Hadist

PENGERTIAN HADITS


Hadits adalah segala perkataan (Sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Para muhadditsin berbeda pendapat di dalam mendefinisikan al-hadits. Hal itu krn terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing. Dari perbedaan sifat peninjauan mereka itu lahirlah dua macam pengertian tentang hadis yaitu pengertian yg terbatas di satu pihak dan pengertian yg luas di pihak lain.
Ta’rif Hadis yg Terbatas Dalam pengertian yg terbatas mayoritas ahli hadis berpendapat sebagai berikut. Al-hadits ialah sesuatu yg disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. yaitu berupa perkataan perbuatan pernyataan dan yg sebagainya.
Definisi ini mengandung empat macam unsur perkataan perbuatan pernyataan dan sifat-sifat atau keadaan-keadaan Nabi Muhammad saw. yg lain yg semuanya hanya disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. saja tidak termasuk hal-hal yg disandarkan kepada sahabat dan tidak pula kepada tabi’in.
Pemberitaan tentang empat unsur tersebut yg disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. disebut berita yg marfu’ yg disandarkan kepada para sahabat disebut berita mauquf dan yg disandarkan kepada tabi’in disebut maqthu’.
1        Perkataan Yang dimaksud dengan perkataan Nabi Muhammad saw. ialah perkataan yang pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang syariat akidah akhlak pendidikan dan sebagainya. Contoh perkataan beliau yg mengandung hukum syariat seperti berikut. Nabi Muhammad saw. bersabda Hanya amal-amal perbuatan itu dengan niat dan hanya bagi tiap orang itu memperoleh apa yang ia niatkan ,Hukum yang terkandung dalam sabda Nabi tersebut ialah kewajiban niat dalam seala amal perbuatan untuk mendapatkan pengakuan sah dari syara’.
2        Perbuatan Perbuatan Nabi Muhammad saw. merupakan penjelasan praktis dari peraturan-peraturan yg belum jelas cara pelaksanaannya. Misalnya cara cara bersalat dan cara menghadap kiblat dalam salat sunah di atas kendaraan yg sedang berjalan telah dipraktikkan oleh Nabi dengan perbuatannya di hadapan para sahabat. Perbuatan beliau tentang hal itu kita ketahui berdasarkan berita dari sahabat Jabir r.a. katanya Konon Rasulullah saw.
bersalat di atas kendaraan menurut kendaraan itu menghadap. Apabila beliau hendak salat fardu beliau turun sebentar terus menghadap kiblat. .
Tetapi tidak semua perbuatan Nabi saw. itu merupakan syariat yg harus dilaksanakan oleh semua umatnya. Ada perbuatan-perbuatan Nabi saw. yang hanya spesifik untuk dirinya bukan untuk ditaati oleh umatnya. Hal itu kenan adanya suatu dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan itu memang hanya spesifik untuk Nabi saw. Adapun perbuatan-perbuatan Nabi saw. yang hanya khusus uuntk dirinya atau tidak termasuk syariat yang harus ditaati antara lain ialah sebagai berikut:
a.       Rasulullah saw. diperbolehkan menikahi perempuan lebih dari empat orang dan menikahi perempuan tanpa mahar. Sebagai dalil adanya dispensasi menikahi perempuan tanpa mahar ialah firman Allah sebagai berikut.
.. Dan Kami halalkan seorang wanita mukminah menyerahkan dirinya kepada Nabi bila Nabi menghendaki menikahinya sebagai suatu kelonggaran utk engkau bukan utk kaum beriman umumnya.
b.      Sebagian tindakan Rasulullah saw. yang berdasarkan suatu kebijaksanaan semata-mata yang bertalian degan soal-soal keduniaan perdagangan pertanian dan mengatur taktik perang. Misalnya pada suatu hari Rasulullah saw. pernah kedatangan seorang sahabat yg tidak berhasil dalam penyerbukan putik kurma lalu menanyakannya kepada beliau maka Rasulullah menjawab bahwa kamu adalah lebih tahu mengenai urusan keduiaan . Dan pada waktu Perang Badar Rasulullah menempatkan divisi tentara di suatu tempat yg kemudian ada seorang sahabat yg menanyakannya apakah penempatan itu atas petunjuk dari Allah atau semata-mata pendapat dan siasat beliau. Rasulullah kemudian menjelaskannya bahwa tindakannya itu semata-mata menurut pendapat dan siasat beliau. Akhirnya atas usul salah seorang sahabat tempat tersebut dipindahkan ke tempat lain yang lebih strategis.
c.       Sebagian perbuatan beliau pribadi sebagai manusia. Seperti makan minum berpakaian dan lain sebagainya. Tetapi kalau perbuatan tersebut memberi suatu petunjuk tentang tata cara makan minum berpakaian dan lain sebagainya menurut pendapat yang lebih baik sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq dan kebanyakan para ahli hadis hukumnya sunah. Misalnya Konon Nabi saw. mengenakan jubah sampai di atas mata kaki. .
3        Taqrir Arti taqrir Nabi ialah keadaan beliau mendiamkan tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau. Contohnya dalam suatu jamuan makan sahabat Khalid bin Walid menyajikan makanan daging biawak dan mempersilakan kepada Nabi untuk meni’matinya bersama para undangan.
Rasulullah saw. menjawab Tidak . Berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung kaumku aku jijik padanya! Kata Khalid Segera aku memotongnya dan memakannya sedang Rasulullah saw. melihat kepadaku. .
Contoh lain adalah diamnya Nabi terhadap perempuan yang keluar rumah berjalan di jalanan pergi ke masjid dan mendengarkan ceramah-ceramah yg memang diundang untuk kepentingan suatu pertemuan.
Adapun yang termasuk taqrir qauliyah yaitu apabila seseorang sahabat berkata aku berbuat demikian atau sahabat berbuat berbuat begitu di hadapan Rasul dan beliau tidak mencegahnya. Tetapi ada syaratnya yaituperkataan atau perbuatan yg dilakukan oleh seorang sahabat itutidak mendapat sanggahan dan disandarkan sewaktu Rasulullah masih hidup dan orang yg melakukan itu orang yg taat kepada agama Islam. Sebab diamnya Nabi terhadap apa yg dilakukan atau diucapkan oleh orang kafir atau munafik bukan berarti menyetujuinya. Memang sering nabi mendiamkan apa-apa yg diakukan oleh orang munafik lantaran beliau tahu bahwa banyak petunjuk yg tidak memberi manfaat kepadanya.
4        Sifat-Sifat Keadaan-Keadaan dan Himmah Rasulullah Sifat-sifat beliau yg termasuk unsur al-hadits ialah sebagai berikut:
a.       Sifat-sifat beliau yg dilukiskan oleh para sahabat dan ahli tarikh seperti sifat-sifat dan bentuk jasmaniah beliau yg dilukiskan oleh sahabat Anas r.a. sebagai berikut. Rasulullah itu adl sebaik-baik manusia mengenai paras mukanya dan bentuk tubuhnya. Beliau bukan orang tinggi dan bukan pula orang pendek..
b.      Silsilah-silsilah nama-nama dan tahun kelahiran yg telah ditetapkan oleh para sahabat dan ahli sejarah. Contoh mengenai tahun kelahiran beliau seperti apa yg dikatakan oleh Qais bin Mahramah r.a. Aku dan Rasulullah saw. dilahirkan pada tahun gajah. .
c.       Himmah beliau yg belum sempat direalisasi. Misalnya hasrat beliau utk berpuasa pada tanggal 9 Asyura seperti yg diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. Tatkala Rasulullah saw. berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan utk dipuasai para sahabat menghadap kepada Nabi mereka berkata ‘Ya Rasulullah bahwa hari ini adl yg diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani.’ Sahut Rasulullah ‘Tahun yg akan datang Insya Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan, Tetapi Rasulullah tidak menjalankan puasa pada tahun depan krn wafat.
Menurut Imam Syafii dan rekan-rekannya menjalankan himmah itu disunahkan krn ia termasuk salah satu bagian sunah yakni sunnah hammiyah. Ringkasnya menurut ta’rif yg terbatas yg dikemukakan oleh mayoritas ahli hadis di atas pengertian hadis itu hanya terbatas pada segala sesuatu yg disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. saja sedang segala sesuatu yg disandarkan kepada sahabat tabi’in atau tabi’it tabi’in tidak termasuk al-hadits.


Dengan memperhatikan macam-macam unsur hadis dan mana yg harus didahulukan mengamalkannya bila ada perlawanan antara unsur-unsur tersebut mayoritas ahli hadis membagi hadis berturut-turut sebagai berikut.
a.       Sunnah qauliyah
b.      Sunnah fi’liyah
c.       Sunah taqririyah
d.      Sunnah hammiyah.

SEJARAH PENULISAN HADIS


A.  PENUISAN HADITS
Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam semuanya sependapat menetapkan bahwa AI-Quranul Karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma,dibatu-batu,dansebagainya.
Ketika Rasulullah SAW. wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasul sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SA W.
Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadis Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS yang menulis, sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah itu Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda.

Artinya: “Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan.”(HR.Muslim)
Dan mereka berkata kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum.” Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut. Rasulullah kemudian bersabda:
Artinya: “Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran “.
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali mempunyai sebuah sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan. Abu Hurairah menyatakan: “Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadis Rasulullah daripadaku, selain Abdullah bin Amr bin As. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya”. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh (dimansukh) dengan hadis yang memberi izin yang datang kemudian.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi. Mereka memahami hadis Rasulullah SAW. di atas bahwa larangan Nabi menulis hadis adalah ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis dengan AI-Quran

Sedangkan izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadis dengan Al-Quran. Oleh karena itu, setelah Al-Quran ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya, maka tidak ada Jarangan untuk menulis hadis. Tegasnya antara dua hadis Rasulullah di atas tidak ada pertentangan manakala kita memahami bahwa larangan itu hanya berlaku untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan mencampurkan AI-Quran dengan hadis, dan mereka yang mempunyai ingatan/kuat hapalannya. Dan izin menulis hadis diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat ingatan/hapalannya.

B. PENGHAPALAN HADITS
Para sahabat dalam menerima hadis dari Nabi SAW. berpegang pada kekuatan hapalannya, yakni menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan jalan menulis hadis dalam buku. Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis melalui mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi. Kemudian terekamlah lafal dan makna itu dalam sanubari mereka. Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi kerjakan, atau mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari nabi, karena tidak semua dari mereka pada setiap waktu dapat mengikuti atau menghadiri majelis Nabi. Kemudian para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah Nabi lakukan, untuk selanjutnya disampaikan kepada orang lainsecarahapalanpula.

Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadis yang didengarnya dari Nabi SAW. Di antara sahabat yang paling banyak menghapal/meriwayatkan hadis ialah Abu Hurairah. Menurut keterangan Ibnu Jauzi bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadis. Kemudian para sahabat yang paling banyak hapalannyasesudahAbuHurairahialah:
1.      Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadis
2.      Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadis
3.      Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadis
4.      Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadis
5.      Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadis
6.      Abu Said AI-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadis

C. PENGHIMPUNAN HADIS
Pada abad pertama hijrah, yakni masa Rasulullah SAW., masa khulafaur Rasyidin dan sebagian besar masa bani umayyah, hingga akhir abad pertama hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya. Memang hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh khalifah Umar bin Khattab (w. 23/H/644 M). Namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena beliau khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannyadalammempelajariAl-Quran.

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama hijrah, yakni tahun 99 hijrah datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadis. Umar bin Abdul Azis seorang khalifah dari Bani Umayyah terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima.

Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal.
Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang berbunyi:
Artinya: “Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itudirahasiakan.“
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perinea khalifah tersebut. Dan Az-Zuhri itulah yang merupakan salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis.

Dari Syihab Az-Zuhri ini (15-124 H) kemudian dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya, yang di samping pembukuan hadis sekaligus dilakukan usaha menyeleksi hadis-hadis yang maqbul dan mardud dengan menggunakan metode sanad dan isnad.

Metode sanad dan isnad ialah metode yang digunakan untuk menguji sumber-sumber pembawa berita hadis (perawi) dengan mengetahui keadaan para perawi, riwayat hidupnya, kapan dan di mana ia hidup, kawan semasa, bagaimana daya tangkap dan ingatannya dan sebagainya. Ilmu tersebut dibahas dalam ilmu yang dinamakan ilmu hadis Dirayah, yang kemudian terkenal dengan ilmu Mustalahul hadis.

Setelah generasi Az-Zuhri, kemudian pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H), Ar-Rabi’ bin Shabih (w. 160 H) dan masih banyak lagi ulama-ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempuma. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H. dilakukan upaya penyempunaan. Mulai. waktu itu kelihatan gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan penulisan hadis-hadis Rasul SAW. Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang sampai kepada kita, antara lain AI-Muwatha ‘ oleh imam Malik(w 179 H), AI Musnad oleh Imam Asy-Syafi’l (w 204 H). Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh Imam-lmam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Turmuzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan lain-lain

Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam yaitu: Sahih AI-Bukhari (w 256H), Sahih Muslim (w 261H), Abu Dawud (w 275H), At-Turmuzi (w 267H), Sunan An-Nasai (w 303H), dan Ibnu Majah (w 273H). Tidak sedikit pada “masa berikutnya dari para ulama yang menaruh perhatian besar kepada Kutubus sittah tersebut beserta kitab Muwatta dengan cara mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanaddanmatan-matannya.


D.  PEMALSUAN HADITS DAN UPAYA PENYELATAMANNYA
Sejak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib serta Muawiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan khalifah, maka umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu syiah. khawarij, dan jumhur. Masing-masing kelompok mengaku berada dalam pihak yang benar dan menuduh pihak lainnya salah. Untuk membela pendirian masing-masing, maka mereka membuat hadis-hadis palsu. Mulai saat itulah timbulnya riwayat-riwayat hadis palsu. Orang-orang yang mula-mula membuat hadis palsu adalah dari golongan Syiah kemudian golongan khawarij dan jumhur, Tempat mula berkembangnya hadis palsu adalah daerah Irak tempat kamu syiah berpusatpadawaktuitu.
Pada abad kedua, pemalsuan hadis bertambah luas dengan munculnya propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Sebagai imbangan, muncul pula dari pihak Muawiyyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selain itu, muncul juga golongan Zindiq, tukang kisah yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan membuat kisah-kisah palsu.
1        Menurut Imam Malik ada empat jenis orang yang hadisnya tidak boleh diambil darinya:
Ø  Orang yang kurang akal.
Ø  Orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti hawa nafsunya
Ø  Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada Rasul
Ø  Orang yang tampaknya saleh dan beribadah apabila orang itu tidak mengetahui nilai-nilai hadis yang diriwayatkannya
Untuk itu, kemudian sebagian ulama mempelajari dan meneliti keadaan perawi-perawi hadis yang dalam masa itu banyak terdapat perawi-perawi hadis yang lemah Diantara perawi-perawi tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui mana yang benar-benar dapat diterima periwayatannya dan mana yang tidak dapat diterima.
Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadis-hadis palsu oleh para ulama, yaitu dengan cara menunjukan nama-nama dari oknum-oknum/ golongan-golongan yang memalsukan hais berikut hadis-hadis yang dibuatnya supaya umat islam tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan mereka. Untuk itu, para ulama menyusun kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadis-hadis palsu tersebut, yaitu antara lain :
1        Kitab Tadzkiratul Maudlu’ah oleh Muhammad bin Thahir Ak-Maqdizi (w.tahun507)   H)
2        Kitab oleh Al-Hasan bin Ibrahim Al-Hamdani
3        Kitab Maudlu’atul Kubra oleh Ibnul Jauzi (w. tahun 597 H)
Di samping itu para ulama hadis membuat kaidah-kaidah atau patokan-patokan serta menetapkan ciri-ciri kongkret yang dapat menunjukkan bahwa suatu hadis itu palsu. Ciri-ciri yang menunjukkan bahwa hadis itu palsu antara lain: Susunan hadis itu baik lafaz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas rasanya disabdakan oleh Nabi SAW., seperti hadis: Artinya: “Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman karibku. “Isi maksud hadis tersebut bertentangan dengan akal, seperti hadis: Artinya: “Buah terong itu menyembuhkan. Segala macam penyakit. “
Isi/maksud itu bertentangan dengan nas Al-Quran dan atau hadis mutawatir sepertihadis:,
Artinya: “Anak zina itu tidak akan masuk surga.
Hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT. : Artinya: “Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. ” (QS. Fatir: 18)


BIOGRAFI 7 PERAWI



Buta di masa kecilnya, Keliling dunia mencari ilmu. Menghafal ratusan ribu hadits. Karyanya menjadi rujukan utama setelah Al Qur’an. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari Al Ju’fi. Akan tetapi beliau lebih terkenal dengan sebutan Imam Bukhari, karena beliau lahir di kota Bukhara, Turkistan. Beliau dilahirkan pada bulan syawal tahun 194 H di negeri bukhara, yang sekarang di kenal sebagai bagian dari negeri soviet. Beliau adalah seorang yang sangat alim di bidang hadits. Beliau menyusun sebuah kitab yang kesahihannya telah disepakati oleh umat islam dari jaman dahulu hingga sekarang. Imam bukhari pernah ditanya oleh seseorang:' Bagaimana mulanya engkau berkecimpung dalam bidang hadits ini? Maka beliau mengatakan : saya diilhami untuk menghafal hadits ketika saya bersama dengan para penulis hadits. Berapa usiamu pada waktu itu? Dia menjawab 10 tahun, atau kurang. Saya lalu keluar dari kelompok para penulis itu dan selanjutnya saya selau menemani ad dakhili dan ulama lainnya. Ketika saya telah berkecimpung di bidang ini saya telah hafal ibnul mubarak dan waqi'. Saya lalu pergi ke Mekkah bersama ibu dan saudaraku , sesudah selesai berhaji , saudaraku lalu mengantarkan ibuku pulang, sedangkan saya memperdalam dan mematangkan diri dalam bidang hadits. Imam bukahari selanjutnya berkelana ke berbagai daerah seperit nisabur, baghdad, bashrah, kufah, mekkah, madinah, syam dan mesir untuk mendapatkan hadits dari sejumlah ulama. Beliau menulis kitabnya yang bernama tarikh di masjid nabawi, sejumlah buku yang memuat nama-nama rijal (Orang).
Imam bukhari pada waktu kecil pernah mendatangi para ulama yang sedang bersama para muridnya, karena beliau masih kecil beliau malu memberi salam pada mereka. Suatu ketika beliau ditanya oleh seorang alim: berapa hadits yang sudah kau tulis hari ini? Imam bukhari menjawab: Dua" orang-orang yang ada di sekitarnya mentertawakannya. Alim itu pun berkata" kalian jangan mentertawakannya, boleh jadi suatu hari kalian akan ditertawakannya.

Beliau berkata: suatu kali saya bersama ishak ibnu rahawaih, lalu ada sejumlah temanku yang berkata kepadaku " alangkah baiknya kalau sekiranya engkau kumpulkan sunnah nabi sholallohu alaihi wasalam dalam sebuh kitab yang singkat. Hal tersebut mengena dalam hatiku , maka saya mulai mengumpulkannya dalam kitab ini (Kitab sahih Bukhari). Beliau berkata : kitab ini saya pilihkan dari 600 ribu hadits. beliau juga berkata : tidaklah aku tulis satu hadits dalam kitab ini kecuali saya wudlu/mandi dan sholat dua rekaat. Imam bukari berkata: saya menulis hadits dari 1000 orang alim atau lebih. Tidak ada satu pun hadits yang ada padaku kecuali kusebutkan isnadnya. Imam bukhari meninggal pada tahun 256 H pada malam hari raya idhul fitri pada usia 62 tahun. Kubur beliau terletak di bikharnatk dekat dengan samarkand.


IMAM AHMAD BIN HAMBAL
Setiap kali membaca biografi Ahmad bin Hambal, kita akan bertemu dengan sosok yang gigih dalam membela sifat-sifat Allah yang haq, meskipun beliau disiksa bertahun -tahun lamanya. Tidak gentar, tidak berpaling, dan tidak mengerahkan murid-muridnya untuk melawan penguasa, tetapi malah selalu mendoakan pemimpin (meski mereka amat sangat zalim sekali), sebagaimana beliau pernah berkata, "Sekiranya saya memiliki doa yang pasti terkabul, tentu doa itu kutujukan untuk pemimpin". Nasab dan Kelahirannya Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal. Nasab beliau bertemu dengan nasab RasuluLlah sholaLlahu a'laihi wasallam pada diri Nizar bin Ma'd bin 'Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim 'alaihissalam.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa-tempat tinggal sang ayah-, ke kota Baghdad. Di kota itulah beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi'ul Awwal 164H. Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur 3 tahun.

Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan dua rumah untuk mereka: satu ditempati sendiri, dan satunya disewakan dengan harga sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi'i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga Beliau mendapatkan pendidikan pertamanya di Baghdad.Setamatnya menghafal AlQuran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttan saat berusia 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Perhatian beliau saat itu tengah tertuju pada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Orang pertama tempat mengambil hadits adalah Al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah. Pada usia 16 tahun, Imam Ahmad mulai tertarik untuk menulis hadits. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim Al-Wasithy hingga syaikhnya wafat, dan telah belajar lebih dari 300.000 hadits.
memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Pada umur 23 tahun, beliau mulai mencari hadits ke Bashrah, Hijaz, Yaman, dan kota lain. Selama di Hijaz, beliau banyak mengambil hadits dan faidah dari Imam Syafi'i, bahkan Imam Syafi'i sendiri amat memuliakan Imam Ahmad dan menjadikan beliau sebagai rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Demikianlah ketekunan beliau, sampai-sampai beliau baru menikah di usia 40 tahun. Seseorang pernah berkata kepada beliau, "Wahai Abu Abdillah, Anda telah menjadi imam kaum muslimin". Beliau menjawab, "Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah(kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur". Beliau senantiasa seperti itu: menekuni hadits, memberi fatwa, dsb. Banyak ulama yang pernah belajar kepada beliau, semisal kedua putranya, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zur'ah, dan lain- lain.
Kitab-kitab beliau Kitabnya yang terkenal, al-Musnad, beliau susun dalam waktu 60 tahun sejak beliau pertama kali tertarik menulis hadits. Beliau juga menyusun kitab Al-Manasik ash- Shaghir dan Al-Kabir, kitab Az-Zuhud, Ar-Radd 'ala Jahmiyyah wa az-Zindiqiyyah, kitab
as-Sholah, as-Sunnah, al-Wara' wa al-Iman, al-'Ilal wa ar-Rijal,Fadhail ash- Shahabah, danlain-lain.
IMAM TIRMIDZI
Khazanah keilmuan Islam klasik mencatat sosok Imam Tirmizi sebagai salah satu periwayat dan ahli Hadits utama, selain Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan sederet nama lainnya. Karyanya, Kitab Al Jami’, atau biasa dikenal dengan kitab Jami’ Tirmizi, menjadi salah satu rujukan penting berkaitan masalah Hadits dan ilmunya, serta termasuk dalam Kutubus Sittah (enam kitab pokok di bidang Hadits) dan ensiklopedia Hadits terkenal. Sosok penuh tawadhu’ dan ahli ibadah ini tak lain adalah Imam Tirmizi. Dilahirkan pada 279 H di kota Tirmiz, Imam Tirmizi bernama lengkap Imam Al-Hafiz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmizi. Sejak kecil, Imam Tirmizi gemar belajar ilmu dan mencari Hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri, antara lain Hijaz, Irak, Khurasan, dan lain-lain. Dalam lawatannya itu, ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru Hadits untuk mendengar Hadits dan kemudian dihafal dan dicatatnya dengan baik. Di antara gurunya adalah; Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud. Selain itu, ia juga belajar pada Imam Ishak bin Musa, Mahmud bin Gailan, Said bin Abdurrahman, Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, dan lainnya. Perjalanan panjang pengembaraannya mencari ilmu, bertukar pikiran, dan mengumpulkan Hadits itu mengantarkan dirinya sebagai ulama Hadits yang sangat disegani kalangan ulama semasanya. Kendati demikian, takdir menggariskan lain. Daya upaya mulianya itu pula yang pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra. Dalam kondisi seperti inilah, Imam Tirmizi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada usia 70 tahun. Di kemudian hari, kumpulan Hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama, di antaranya; Makhul ibnul-Fadl, Muhammad bin Mahmud Anbar, Hammad bin Syakir, Abd bin Muhammad An-Nasfiyyun, Al-Haisam bin Kulaib Asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf An-Nasafi, Abul-Abbas Muhammad bin Mahbud Al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain. Mereka ini pula murid-murid Imam Tirmizi Banyak kalangan ulama dan ahli Hadits mengakui kekuatan dan kelebihan dalam diri Imam Tirmizi. Selain itu, kesalehan dan ketakwaannya pun tak dapat diragukan lagi. Salah satu ulama itu, Ibnu Hibban Al-Busti, pakar Hadits, mengakui kemampuan Tirmizi dalam menghafal, menghimpun, menyusun, dan meneliti Hadits, sehingga menjadikan dirinya sumber pengambilan Hadits para ulama terkenal, termasuk Imam Bukhari. Sementara kalangan ulama lainnya mengungkapkan, Imam Tirmizi adalah sosok yang dapat dipercaya, amanah, dan sangat teliti. Kisah yang dikemukakan Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib At-Tahzibnya, dari Ahmad bin Abdullah bin Abu Dawud, berikut adalah salah satu bukti kelebihan sang Imam: Saya mendengar Abu Isa At-Tirmizi berkata, “Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Mekkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid buku berisi Hadits-hadits berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Dia mengira bahwa ‘dua jilid kitab’ itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya bertemu dengannya, saya memohon kepadanya untuk mendengar Hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan Hadits yang telah dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang ternyata masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Selain dikenal sebagai ahli dan penghafal Hadits, mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, Imam Tirmizi juga dikenal sebagai ahli fiqh dengan wawasan dan pandangan luas. Pandangan-pandangan tentang fiqh itu misalnya, dapat ditemukan dalam kitabnyaAl-Jami’.
Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh ini pula mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Sebagai tamsil, penjelasannya terhadap sebuah Hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut: “Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami. Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi Az-Zunad, dari Al-Arai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: Penangguhan membayar utang (yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya.”

IBNU MAJAH
Beliau bernama Imam Al Hafidz Al Faqih Sulaiman bin Imron bin Al Asy`ats bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amr bin Imron -atau disebut dengan Amir- Al Azdy As Sajistaany, dan dilahirkan pada tahun 202 H/817M di kota Sajistaan, menurut kesepakatan referensi yang memuat biografi beliau,demikian juga didasarkan keterangan murid beliau yang bernama Abu Ubaid Al Ajury ketika beliau wafat,ketika berkata: aku telah mendengar dari Abi Daud ,beliau berkata : Aku dilahirkan pada tahun 202 H / 817 M (Siyar A`lam An Nubala` 13/204)

Perkembangan keilmuannya
Tidak didapatkan berita atau keterangan tentang masa kecil beliau kecuali keterangan bahwa keluarganya memiliki perhatian yang sangat besar dalam hadits-hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasalam, dan ini sangat mempengaruhi perkembangan keilmuan beliau di masa depannya.Keluarga beliau adalah keluarga yang terdidik dalam kecintaan terhadap hadits-hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasalam dan ilmu-ilmunya. Bapak beliau yaitu Al Asy`ats bin Ishaq adalah seorang perawi hadits yang meriwayatkan hadits dari Hamad bin Zaid, dan demikian juga saudaranya Muhammad bin Al Asy`ats termasuk seorang yang menekuni dan menuntut hadits dan ilmu-ilmunya juga merupakan teman perjalanan beliau dalam menuntut hadits dari para ulama ahlil hadits. Maka berkembanglah Abu Daud dengan motivasi dan semangat yang tinggi serta kecintaan beliau sejak kecil terhadap ilmu-ilmu hadits, sehingga beliau mengadakan perjalanan (Rihlah)dalam mencari ilmu sebelum genap berusia 18 tahun.Beliau memulai perjalanannya ke Baghdad (Iraq) pada tahun 220 H/835M dan menemui kematian Imam Affan bin Muslim, sebagaimana yang beliau katakan : “Aku menyaksikan jenazahnya dan mensholatkannya” (Tarikh Al Baghdady 9/56). Walaupun sebelumnya beliau telah pergi ke negeri-negeri tetangga Sajistaan, seperti khurasan, Baghlan, Harron, Roi dan Naisabur.

RiwayatPerjalanan
1        Tahun 221H/836M beliau datang ke Kufah dan mengambil hadits dari Al Hafidz Al    Hasan bin Robi` Al Bajaly dan Al Hafidz Ahmad bin Abdillah bin Yunus Al Yarbu`iy (mereka berdua termasuk dalam guru-gurunya Imam Muslim)
2        Sebelumnya beliau berkelana ke makkah dan meriwayatkan hadits dari Abdulloh bin Maslamah Al Qo`naby (Wafat tahun 221 H/836M).
3        Di Damaskus mengambil hadits dari Ishaq bin Ibrohim Al Faradisy dan Hisyam bin Ammar
4        Tahun 224 H/839M pergi ke Himshi dan mengambil hadits dari Imam Hayawah bin Syuraih Al Himshy.
5        Mengambil hadits dari Ibnu Ja`far An Nafiry di Harron
6        Di Halab mengambil hadits dari Abu Taubah Robi` bin Nafi` Al Halab
7        Di Mesir mengambil hadits dari Ahmad bin Sholeh Ath Thobary, kemudian beliau tidak berhenti mencari ilmu di negeri-negeri tersebut bahkan sering sekali bepergian ke Baghdad untuk menemui Imam Ahmad bin Hambal disana dan menerima serta menimba ilmu darinya.Walaupun demikian beliaupun mendengar dan menerima ilmu dari ulama-ulama Bashroh, seperti: Abu Salamah At Tabudzaky, Abul Walid Ath Thoyalisy dan yang lain-lainnya. Karena itulah beliau menjadi seorang imam ahlil hadits yang terkenal banyak berkelana dalam mencari ilmu.

Guru-Guru Beliau.
Guru-guru beliau sangat banyak,karena beliau menuntut ilmu sejak kecil dan sering bepergian kepenjuru negeri-negeri dalam menuntut ilmu, sampai-sampai Abu Ali Al Ghosaany mengarang sebuah buku yang menyebut nama-nama guru beliau dan sampai mencapai 300 orang,demikian juga Imam Al Mizy menyebut dalam kitabnya Tahdzibul Kamal 177 guru beliau. Dan diantara mereka yang cukup terkenal adalah : Imam Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Ibrohim bin Rahuyah, Ali bin Al Madiny, Yahya bin Ma`in, Abu Bakr ibnu Abi Syaibah, Muhammad bin Yahya Adz Dzuhly, Abu Taubah Robi` bin Nafi` Al Halaby, Abdulloh bin Maslamah Al Qo`naby, Abu Khoitsamah Zuhair bin Harb, Ahmad bin Sholeh Al Mishry, Hayuwah bin syuraih, Abu Mu`awiyah Muhammad bin Hazim Adh Dhorir, Abu Robi` Sulaiman bin Daud Az Zahrony, Qutaibah bin Sa`di bin Jamil Al Baghlany. (LihatTahdzibul Kamal 11/358-359).Murid-Murid Beliau.Demikian pula murid-murid beliau cukup banyak dan saya cukupkan dengan menyebut sebagian dari mereka disini, yaitu : Abu `Isa At Tirmidzy, An Nasa`i, Abu Ubaid Al Ajury, Abu Thoyib Ahmad bin Ibrohim Al Baghdady (Perawi sunan Abi Daud dari beliau), Abu `Amr Ahmad bin Ali Al Bashry (perawi kitab sunan dari beliau), Abu Bakr Ahmad bin Muhammad Al Khollal Al Faqih, Isma`il bin Muhammad Ash Shofar, Abu Bakr bin Abi Daud (anak beliau), Zakariya bin Yahya As Saajy, Abu Bakr Ibnu Abi Dunya, Ahmad bin Sulaiman An Najjar (perawi kitab Nasikh wal Mansukh dari beliau), Ali bin Hasan bin Al `Abd Al Anshory (perawi sunsn dari beliau), Muhammad bin Bakr bin Daasah At Tammaar (perawi sunan dari beliau), Abu `Ali Muhammad bin Ahmad Al Lu`lu`y (perawi sunan dari beliau), Muhammad bin Ahmad bin Ya`qub Al Matutsy Al Bashry (perawi kitab Al Qadar dari beliau). (lihat Siyar A`lam An Nubala` 13/206 dan Tahdzibul Kamal 11/360).
Aqidah Beliau.Beliau adalah imam dari imam-imam ahlisunnah wal jamaah yang hidup di Bashroh kota berkembangnya kelompok Qadariyah, demikian juga berkembang disana pemikiran Khowarij, Mu`tazilah, Murji`ah dan Syi`ah Rafidhoh serta Jahmiyah dan lain-lainnya, tetapi walaupun demikian beliau tetap dalam keistiqomahan diatas Sunnah dan beliaupun membantah Qadariyah dengan kitabnya Al Qadar, demikian pula bantahan beliau atas Khowarij dalam kitabnya Akhbar Al Khawarij, dan juga membantah terhadap pemahaman yang menyimpang dari kemurnian ajaran islam yang telah disampaikan olah Rasulullah shalallahu alaihi wasalam. Maka tentang hal itu bisa dilihat pada kitabnya As Sunan yang terdapat padanya bantahan-bantahan beliau terhadap Jahmiyah, Murji`ah dan Mu`tazilah. Wafatnya Beliau.Beliau wafat dikota Bashroh tanggal 16 Syawal 275 H (20 Februari 889) dan disholatkan janazahnya oleh Abbas bin Abdul Wahid Al Haasyimy.
Perkembangan Islam, sedari awal hingga hari ini, tak lepas dari peranan Hadis. Dalam pemahaman umum, Hadis adalah ajaran Nabi Muhammad SAW, yang meliputi tindakan, perkataan, maupun persetujuannya atas sesuatu. Keseluruhan tindakan dan ucapan Nabi SAW itu kemudian dijadikan panutan dan patokan bagi para pengikut Muhammad SAW dalam menjalankan perintah-perintah agama.
Semasa Nabi SAW hidup, ajaran-ajaran tersebut belum dibukukan. Hanya ada beberapa pencatat atau semacam sekretaris yang biasa mencatat pesan-pesan Nabi SAW, salah satunya adalah Sahabat Zaid bin Tsabit. Namun setelah wafatnya Muhammad SAW, para ulama bersepakat untuk menulis kembali apa-apa yang pernah disampaikan dan dipraktikkan Nabi SAW dalam bentuk kitab. Terbitlah kemudian kitab-kitab Hadis yang merekam tentang segala sesuatu yang terkait dengan Nabi SAW.
Dari sekian puluh ulama yang dikenal sebagai ahli Hadis dan banyak meriwayatkan sabda-sabda Nabi SAW adalah Imam Ibnu Majah. Bernama lengkap Imam Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qarwini. Ia lebih akrab dipanggil Ibnu Majah. Ulama yang dikenal kejujuran dan akhlak mulianya ini dilahirkan di Qazwin, Irak pada 209 H/824 M. Sebutan Majah dinisbahkan kepada ayahnya, Yazid, yang juga dikenal dengan nama Majah Maula Rab’at. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Majah adalah ayah dari Yazid. Namun demikian, pendapat pertama tampaknya yang lebih valid. Ibnu Majah mulai belajar sejak usia remaja. Namun baru mulai menekuni bidang ilmu Hadis pada usia 15 tahun pada seorang guru ternama kala itu, yaitu Ali bin Muhammad At-Tanafasi (w. 233 H). Bakat dan minatnya di bidang Hadis makin besar. Hal inilah yang membuat Ibnu Majah berkelana ke beberapa daerah dan negara guna mencari, mengumpulkan, dan menulis Hadis. Puluhan negeri telah ia kunjungi, antara lain Rayy (Teheran), Basra, Kufah, Baghdad, Khurasan, Suriah, dan Mesir.

Dengan cara inilah, Ibnu Majah dapat menghimpun dan menulis puluhan bahkan ratusan Hadis dari sumber-sumber yang dipercaya kesahihannya. Tak hanya itu, dalam berbagai kunjungannya itu, ia juga berguru pada banyak ulama setempat. Seperti, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam, dan para pengikut perawi dan ahli Hadis, Imam Malik serta Al-Lays. Dari pengembaraannya ini, tak sedikit ulama yang akhirnya meriwayatkan Hadis dari Ibnu Majah. Antara lain Ishaq bin Muhammad, Ali bin Ibrahim bin Salamah Al-Qattan, Ahmad bin Ibrahim, dan sebagainya.
Sepanjang hayatnya, Imam Ibnu Majah telah menulis puluhan buku, baik dalam bidang Hadis, sejarah, fikih, maupun tafsir. Di bidang tafsir, ai antara lain menulis Tafsir Alquranul Karim. Sementara itu, di bidang sejarah, Ibnu Majah menulis buku At-Tariikh, karya sejarah yang memuat biografi para perawi Hadis sejak awal hingga ke masanya. Lantaran tak begitu monumental, kemungkinan besar kedua karya tersebut tak sampai di tangan generasi Islam berikutnya.
Yang menjadi monumental dan populer di kalangan Muslim dan literatur klasik dari karya Ibnu Majah adalah kitab di bidang Hadis berjudul Kitab Sunan Ibnu Majah. Kitab ini merupakan karya terbesar dia. Di bidang ini pula, Ibnu Majah telah meriwayatkan sedikitnya 4000 buah Hadis. Bahkan, seperti diungkapkan Muhammad Fuad Abdul Baqi, penulis buku Mu’jam Al-Mufahras li Alfaz Alquran (Indeks Alquran), jumlah Hadis dalam kitab Sunan Ibnu Majah berjumlah 4.241 buah Hadis. Sebanyak 3002 di antaranya termaktub dalam lima kitab kumpulan Hadis yang lain. Tak hanya hukum Islam, dalam kitab Sunan Ibnu Majah tersebut juga membahas masalah-masalah akidah dan muamalat. Dari sekian banyak Hadis yang diriwayatkan, beberapa kalangan ulama mengkategorikan sebagiannya sebagai Hadis lemah.
Atas ketekunan dan kontribusinya di bidang ilmu-ilmu Islam itu, khususnya disiplin ilmu Hadis, banyak ulama yang kagum dan menilainya sebagai salah seorang ulama besar Islam. Seorang ulama bernama Abu Ya’la al-Khalili al-Qazwini misalnya, berkata: “Ibnu Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal Hadis.” Ulama lainnya, Zahabi dalam Tazkiratul Huffaz, melukiskannya sebagai seorang ahli Hadis besar dan mufassir (ahli tafsir), pengarang kitab sunan dan tafsir, serta ahli Hadis kenamaan negerinya. Sementara mufassir dan kritikus Hadis besar kenamaan, Ibnu Kasir, dalam karyanya, Al-Bidayah, berkata: “Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah) adalah pengarang kitab sunan yang masyhur. Kitabnya itu merupakan bukti atas amal dan ilmunya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya kepada Hadis dan usul serta furu’.”
Setelah sekian lama mendedikasikan hidup dan pikirnya kepada Islam, Sang Khaliq akhirnya memanggil Imam Ibnu Majah selama-lamanya pada tanggal 22 Ramadhan 273 H/887 M. Ia dimakamkan di tanah kelahirannya, Qazwin, Irak. Umat Islam terus mengenangnya melalui berbagai karyanya, terutama Kitab Sunan Ibnu Majah yang termasuk dalam Kutubus Sittah (Enam Kitab Utama Hadis).

IMAM MUSLIM
Nama lengkap beliau ialah Imam Abdul Husain bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Dia dilahirkan di Naisabur tahun 206 H. Sebagaimana dikatakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya "Ulama'ul Amsar. Imam Muslim adalah penulis kitab syahih dan kitab ilmu hadits. Dia adalah ulama terkemuka yang namanyatetapdikenalsampaikini.

Kehidupan dan Pengembaraannya
Kehidupan Imam Muslim penuh dengan kegiatan mulia. Beliau meran-tau ke berbagai negeri untuk mencari hadits. Dia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dia belajar hadits sejak masih kecil, yakni mulai tahun 218 H. Dalam perjalanannya, Muslim bertemu dan berguru pada ulama hadis.
Di Khurasan, dia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih. Di Ray, dia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu Ansan. Di Irak, dia belajar kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah. Di Hijaz, berguru kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas'ab. Di Mesir, belajar kepada 'Amar bin Sawad dan Harmalah bin Yahya dan berguru kepada ulama hadits lainnya.
Imam Muslim berulangkali pergi ke Bagdad untuk belajar hadits, dan kunjungannya yang terakhir tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Muslim sering berguru kepadanya. Sebab dia mengetahui kelebihan ilmu Imam Bukhari. Ketika terjadi ketegangan antara Bukhari dengan az--Zuhali, dia memihak Bukhari. Sehingga hubungannya dengan az-Zuhali menjadi putus. Dalam kitab syahihnya maupun kitab lainnya, Muslim tidak memasukkan hadits yang diterima dari az-Zuhali, meskipun dia adalah guru Muslim. Dan dia pun tidak memasukkan hadits yang diterima dari Bukhari, padahal dia juga sebagai gurunya. Bagi Muslim, lebih baik tidak memasukkan hadits yang diterimanya dari dua gurunya itu. Tetapi dia tetap mengakui mereka sebagai gurunya.

Wafatnya
Setelah mengarungi kehidupan yang penuh berkah, Muslim wafat pada hari Ahad sore, dan di makamkan di kampong Nasr Abad daerah Naisabur pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun. Selama hidupnya, Muslim menulis beberapa kitab yang sangat bermanfaat. Gurunya Imam Muslim mempunyai guru hadits sangat banyak sekali, diantaranya adalah: Usman bin Abi Syaibah, Abu Bakar bin Syaibah, Syaiban bin Farukh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harab, 'Amar an-Naqid, Muhammad bin Musanna, Muhammad bin Yasar, Harun bin Sa'id al-Aili, Qutaibah bin sa'id dan lain sebagainya.

Murid yang meriwayatkan Haditsnya
Banyak para ulama yang meriwayatkan hadits dari Imam Muslim, bahkan di antaranya terdapat ulama besar yang sebaya dengan dia. Di antaranya, Abu Hatim ar-Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Awanah al-Isfarayini, Abi isa at-Tirmidzi, Abu Amar Ahmad bin al-Mubarak al-Mustamli, Abul Abbas Muhammad bin Ishaq bin as-Sarraj, Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan al-Faqih az-Zahid. Nama terakhir ini adalah perawi utama bagi Syahih Muslim. Dan masih banyak lagi muridnya yang lain. Apabila Imam Bukhari sebagai ahli hadits nomor satu, ahli tentang ilat--ilat (cacat) hadits dan seluk beluk hadits, dan daya kritiknya sangat tajam, maka Muslim adalah orang kedua setelah Bukhari, baik dalam ilmu, keistimewaan dan kedudukannya. Hal ini tidak mengherankan, karena Muslim adalah salah satu dari muridnya. Al-Khatib al-Bagdadi berkata: "Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, mengembangkan ilmunya dan mengikuti jalannya." Pernyataan ini bukanlah menunjukkan bahwa Muslim hanya seorang pengikut saja. Sebab ia mempunyai ciri khas tersendiri dalam menyusun kitab, serta memperkenalkan metode baru yang belum ada sebelumnya. Imam Muslim mendapat pujian dari ulama hadis dan ulama lainnya. Al--Khatib al-Bagdadi meriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, katanya "Saya me-lihat Abu Zur'ah dan Abu Hatim selalu mengutamakan Muslim bin al-Hajjaj dari pada guru- guru hadits lainnya. Ishak bin Mansur al-Kausaj berkata kepada Muslim: "Kami tidak akan kehilangan kebaikan selama Allah menetapkan engkau bagi kaum muslimin." Ishak bin Rahawaih pernah mengatakan: "Adakah orang lain seperti Muslim?". Ibnu Abi Hatim mengatakan: "Muslim adalah penghafal hadits. Saya menulis hadits dari dia di Ray." Abu Quraisy berkata: "Di dunia ini, orang yang benar- benar ahli hadits hanya empat orang. Di antaranya adalah Muslim." Mak-sudnya, ahli hadits terkemuka di masa Abu Quraisy. Sebabahlihaditsitucukupbanyakjumlahnya.
Kitab-kitab Imam Muslim
Imam muslim mempunyai kitab hasil tulisannya yang jumlahnya cukup banyak. Di antaranya:
  1. Al-Jamius Syahih
  2. Al-Musnadul Kabir Alar Rijal
  3. Kitab al-Asma' wal Kuna
  4. Kitab al-Ilal
  5. Kitab al-Aqran
  6. Kitab Sualatihi Ahmad bin Hanbal
  7. Kitab al-Intifa' bi Uhubis Siba'
  8. Kitab al-Muhadramain
  9. Kitab Man Laisa Lahu illa Rawin Wahidin
  10. Kitab Auladus Sahabah
  11. Kitab Auhamul Muhadisin
Kitabnya yang paling terkenal sampai kini ialah Al-Jamius Syahih atau Syahih Muslim. Di antara kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat bermanfat luas, serta masih tetap beredar hingga kini ialah Al Jami’ as-Sahih, terkenal dengan Sahih Muslim. Kitab ini merupakan salah satu dari dua kitab yang paling sahih dan murni sesudah Kitabullah. Kedua kitab Sahih ini diterima baik oleh segenap umat Islam. Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadits-hadits yang diriwayatkan, membandingkan riwayat riwayat itu satu sama lain. Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan lafaz-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan adanya perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang sedemikian rupa, maka lahirlah kitab Sahihnya.

ANNASA’I
Imam Nasa`i dengan nama lengkapnya Ahmad bin Syu'aib Al Khurasany, Beliau terkenal dengan nama An Nasa`i karena dinisbahkan dengan kota Nasa'i salah satu kota di Khurasan. Beliau dilahirkan pada tahun 215 Hijriah demikian menurut Adz Dzahabi. Dan beliau meninggal dunia pada hari Senin tanggal 13 Shafar 303 Hijriah di Palestina dan beliau dikuburkan di Baitul Maqdis. Beliau menerima Hadits dari Sa'id, Ishaq bin Rawahih dan ulama-ulama lainnya selain itu dari kalangan tokoh ulama ahli hadits yang berada di Khurasanb, Hijaz, Irak, Mesir, Syam, dan Jazirah Arab. Beliau termask diantara ulama yang ahli di bidang ini dan karena ketinggian sanad hadtsnya. Beliau lebih kuat hafalannya menurut para ulama ahli hadits dari Imam Muslim dan kitab Sunan An Nasa`i lebih sedikit hadits dhaifnya (lemah) setelah Hadits Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Beliau pernah menetap di Mesir Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa`id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami`/Sunan al-Tirmidzi).

Murid-muridnya
murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau, antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu`jam), Abu Ja`far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakr bin Ahmad al-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam al-Nasa`i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa`i. Sudah mafhum dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu hadis, para imam hadis merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadis kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.

Karangannya
Karangan-karangan beliau yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain; al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab al-Sunan al-Kubra), al-Khashais, Fadhail al-Shahabah, dan al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya Jami al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi`i. Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan al-Nasa`i, kitab ini dikenal dengan al-Sunan al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, beliau kemudian menghadiahkan kitab ini kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir kemudian bertanya kepada al-Nasa`i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis shahih?” Beliau menjawab dengan kejujuran, “Ada yang shahih, hasan, dan adapula yang hampir serupa dengannya”. Kemudian Amir berkata kembali, “Kalau demikian halnya, maka pisahkanlah hadis yang shahih-shahih saja”. Atas permintaan Amir ini, beliau kemudian menyeleksi dengan ketat semua hadis yang telah tertuang dalam kitab al-Sunan al-Kubra. Dan akhirnya beliau berhasil melakukan perampingan terhadap al-Sunan al-Kubra, sehingga menjadi al-Sunan al-Sughra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab yang pertama. Imam al-Nasa`i sangat teliti dalam menyeleksi hadis-hadis yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar “Kedudukan kitab al-Sunan al-Sughra dibawah derajat Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit sekali hadis dhaif yang terdapat di dalamnya”. Nah, karena hadis-hadis yang termuat di dalam kitab kedua (al-Sunan al-Sughra) merupakan hadis-hadis pilihan yang telah diseleksi dengan super ketat, maka kitab ini juga dinamakan al-Mujtaba. Pengertian al-Mujtaba bersinonim dengan al-Maukhtar (yang terpilih), karena memang kitab ini berisi hadis-hadis pilihan, hadis-hadis hasil seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra. Disamping al-Mujtaba, dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan al-Mujtana. Pada masanya, kitab ini terkenal dengan sebutan al-Mujtaba, sehingga nama al-Sunan al-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman nama al-Mujtaba. Dari al-Mujtaba inilah kemudian kitab ini kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa`i, sebagaimana kita kenal sekarang. Dan nampaknya untuk selanjutnya, kitab ini tidak akan mengalami perubahan nama seperti yang terjadi sebelumnya.

IBNU MAJAH
Di suatu hari tepatnya pada tahun 209/284 Masehi Allah menurunkan anugerahnya kepada rakyat daerah Qazwin, karena di tempat itulah seorang imam yang jujur dan cerdas dilahirkan. Imam itu adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ar-Rabî'î bin Majah Al-Qazwinî Al-Hâfidz, namun iman tersebut dengan sebutan Ibnu Majah. Sebutan Majah ini dinisbatkan kepada ayahnya Yazid, yang juga dikenal dengan sebutan Majah Maula Rab'at. Ada juga yang mengatakan bahwa Majah adalah ayah dari Yazid. Walaupun demikian, tampaknya pendapat pertama yang lebih valid. Beliau mulai mengecap dan menginjakkan kakinya di dunia pendidikan sejak usia remaja, dan menekuni pada bidang hadits sejak menginjak usia 15 tahun pada seorang guru yang ternama pada kala itu, yaitu Ali bin Muhammad At-Tanafasy (wafat tanggal 233 H). Bakat dan minat yang sangat besar yang dimilikinyalah yang akhirnya membawa beliau berkelana ke penjuru negeri untuk menelusuri ilmu hadits. Sepanjang hayatnya beliau telah mendedikasikan pikiran dan jiwanya dengan menulis beberapa buku Islam, seperti buku fikih, tafsir, hadits, dan sejarah. Dalam bidang sejarah beliau menulis buku "At-Târîkh" yang mengulas sejarah atau biografi para muhaddits sejak awal hingga masanya, dalam bidang tafsir beliau menulis buku "Al-Qur'ân Al-Karîm” dan dalam bidang hadits beliau menulis buku "Sunan Ibnu Majah". Disayangkan sekali karena buku "At-Târîkh" dan "Al-Qur'ân Al-Karîm" itu tidak sampai pada generasi selanjutnya karena dirasa kurang monumental. Suatu hari umat Islam di dunia ditipa ujian, kesedihan menimpa kalbu mereka. Karena setelah memberikan kontribusi yang berarti bagi umat, akhirnya sang imam yang dicintai ini dipanggil oleh yang Maha Kuasa pada hari Senin tanggal 22 Ramadhan 273 H/887 M. Almarhum dimakamkan hari Selasa di tanah kelahirannya Qazwîn, Iraq. Ada pendapat yang mengatakan beliau meninggal pada tahun 275 H, namun pendapat yang pertama lebih valid. Walaupun beliau sudah lama sampai ke finish perajalanan hidupnya, namun hingga kini beliau tetap dikenang dan disanjung oleh seluruh umat Islam dunia. Dan ini adalah bukti bahwa beliau memang seorang ilmuan sejati.

Perjalanan Menuntut Ilmu
Sama halnya dengan para imam-imam terdahulu yang gigih menuntut ilmu, seorang imam terkenal Ibnu Majah juga melakukan perjalanan yang cukup panjang untuk mencari secercah cahaya ilmu Ilahi, karena ilmu yang dituntut langsung dari sumbernya memiliki nilai lebih tersendiri daripada belajar di luar daerah ilmu itu berasal. Oleh sebab itu beliau sudah melakukan rihlah ilmiyah-nya ke beberapa daerah; seperti kota-kota di Iraq, Hijaz, Syam, Pârs, Mesir, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Damaskus, Ray (Teheran) dan Konstatinopel. Dalam pengembaraannya beliau bertemu banyak guru yang dicarinya, dari merekalah nantinya ia menggali sedalam-dalamnya ilmu pengetahuan dan menggali potensinya. Rihlah ini akhirnya menghasilkan buah yang sangat manis dan bermanfaat sekali bagi kelangsungan gizi umat Islam, karena perjalanannya ini telah membidani lahirnya buku yang sangat monumental sekali, yaitu kitab "Sunan Ibnu Majah"
Para Guru dan Murid Imam Ibnu Majah
Guru sangat berperan sekali dalam tingkat keintelektualan anak didiknya, maka tak heran kalau guru yang cakap dalam metodologi pengajarannya sering kita temui peserta didiknya juga lebih terarah dan terdidik. Maka eksistensi guru ini suatu barang mahal dalam dunia pendidikan. Dalam perjalanan konteks rihlah ilmiyah-nya ternyata banyak para syeikh pakar yang ditemui sang imam dalam bidang hadits; diantaranya adalah kedua anak syeikh Syaibah (Abdullah dan Usman), akan tetapi sang imam lebih banyak meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abi Syaibah. Dan juga Abu Khaitsamah Zahîr bin Harb, Duhîm, Abu Mus'ab Az-Zahry, Al-Hâfidz Ali bin Muhammad At-Tanâfasy, Jubârah bin Mughallis, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam dan para pengikut perawi dan ahli hadits imam Malik dan Al-Lays

CARA MENGETAHUI KESHOHEHAN HADITS
Penelitian Hadit di Masa Lalu
Di zaman dahulu, sungguh panjang proses untuk memastikan apakah sebuah perkataan seseorang yang diklaim sebagai hadits itu benar-benar merupakan perkataan beliau SAW.
Para peneliti itu kemudian melakukan penelusuran jalur periwayatan. Dari siapakah seseorang menerima riwayat? Dan bagaimanakah keadaan perawi itu, baik dari sisi pengamalan agamanya (al-’adalah) atau pun dari sisi hafalannya (dhabit).
Dua kriteria itu yang dijadikan pedoman dasar. Kalau ada seorang dari jalur periwayatan yang tidak memenuhi salah satu dari dua standar itu, maka mereka dicacat dan dicatat. Istilah dalam ilmu haditsnya, mereka ditetapkan sebagai majruh (orang yang cacat), di mana semua hadits riwayat mereka tidak bisa diterima lagi.
Sekian ribu ulama peneliti berkeliling dunia untuk membuat sebuah database para perawi, lengkap dengan catatan track recordnya masing-masing. Karena para shahabat nabi sebagai sumber utama hadits-hadits itu tersebar di seantero dunia, maka murid-murid para shahabat nabi itu pun tersebar di seluruh permukaan bumi.
Bisa dibayangkan bagaimana panjang dan uniknya perjalanan demi perjalanan yang dilakukan demi penelitian ini, sehingga kalau difilmkan akan menjadi begitu dahsyat. Sayangnya, orang kafir dan orientalis selalu berupaya menutupi fenomena ini.
Lahirlah di masa itu para begawan ahli kritik sanad seperti Al-Bukhari, Muslim, Ahmad bin Hanbal, At-Tirmizy dan seterusnya. Masing-masing selain berkelana menelusuri jejak periwayatan hadits, juga melakukan penilaian langsung atas para perawi. Dan hasilnya akan sangat berguna dalam menilai keshahihan suatu hadits.
Maka di zaman sekarang ini, cara yang paling sederhana untuk mengetahui apakah suatu hadits itu shahih atau tidak, kita bisa membaca kitab yang sudah disusun oleh tokoh seperti Al-Bukhari dan Muslim. Sebab keduanya telah melakukan kerja besar untuk mengumpulkan hadits-hadits shahih dalam satu buku.
Penelitian Atas Keshahihan Hadits di Masa Sekarang
Selain melahirkan tokoh begawan hadits, masa itu juga melahirkan berbagai kitab yang berisi tulisan dan data para perawi. Dan buku-buku semacam itu hanya ada dalam sejarah Islam, tidak pernah ada buku tentang data para perawi hadits di dalam agama mana pun di dunia ini.
Singkatnya dari buku-buku tentang rijalul hadits itulah kemudian para peneliti di masa berikutnya bisa tetap melakukan kerja-kerja besar. Mereka melakukan penelitian antara satu buku dengan buku lainnya di perpustakaan besar.
Misalnya yang dilakukan oleh al-’allamah Syeikh Nashiruddin Al-Albani di perpustakaan Islam Damaskus Syiria. Siang malam beliau menghabiskan waktu di perpustakaan itu, sampai petugas menyerahkan kepadanya kunci perpustakaan, sehingga kapan pun beliau mau masuk atau keluar, bisa dilakukan sesuka hati.
Tentu saja kerja seperti itu tidak digaji, dan motivasinya bukan uang, melainkan ibadah kepada Allah SWT. Dan boleh jadi nilai pahalanya jauh lebih besar dari orang yang i’tikaf berdzikir di masjid. Karena kerja seperti itu sungguh bermanfaat buat umat.
Penelitian Hadits Di Indonesia
Kegiatan seperti yang dilakukan oleh Syeikh Nasiruddin itu juga mulai dilakukan secara kecil-kecilan di negeri kita. Adalah seorang Dr. Lutfi Fathullah MA, yang wawancaranya pernah kami muat di situs ini telah menyediakan perpustakaannya bagi para mahasiswa dan penuntut ilmu hadits. Mereka melakukan apa yang oleh orang lain seolah mustahil, tetapi kenyataannya bisa berjalan.
Kebanyakan memang mahasiswa beliau di fakultas hadits yang ikut dalam kegiatan yang hampir punah itu. Mereka berkenalan langsung dengan kitab-kitab klasik yang juga dipakai oleh Al-Albani dan para pakar hadits dunia.
Kitab demi kitab yang tebal berjilid-jilid itu mereka buka, lembar demi lembar mereka bolak balik, persis seperti muhaddits besar.
Intinya, begitu kita menemukan teks hadit hadits itu, maka kita periksan nama-nama perawinya sampai kepada tingkat shahabat dan Rasulullah SAW. Lalu nama-nama itu kita cari di beberapa buku rijalul hadits, dan apa yang kita dapat itu tentang data para perawi itu nantinya akan berbicara. Misalnya, adakah di antara para perawi itu yang cacat. Kalau ada, bisa dipertegas apa cacatnya, dari jenis apa dan seberapa parah.
Selain itu juga diperiksa masa hidup antara satu perawi dengan perawi lain, juga tempat tinggal mereka. Adakah benang merah yang bisa menyambungkan sanad periwayatannya. Atau jangan-jangan mereka tidak pernah bertemu dalam satu zaman dan seterusnya.

PENGERTIAN SANAD DAN MATAN

B.     Sanad

Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah
Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah :
·         Keutuhan sanadnya
·         Jumlahnya
·         Perawi akhirnya
Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.

C.     Matan

Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah:
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadist ialah:
·         Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
·         Matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang)

Aksiologi Etis Ilmu Pengetahuan

AKSIOLOGI ETIS ILMU PENGETAHUAN

I.Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari sejarah perkembangan filsafat ilmu, sehingga muncullah ilmuan yang digolongkan sebagai filosof dimana mereka menyakini adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat ilmu. Filsafat ilmu yang dimaksud di sini adalah sistem kebenaran ilmu sebagai hasil dari berfikir radikal, sistematis dan universal.Oleh karena itu, Filsafat ilmu hadir sebagai upaya menata kembali peran dan fungsi Iptek sesuai dengan tujuannya, yakni memfokuskan diri terhadap kebahagian umat manusia.
Ilmu pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir manusia adalah wahana untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses penerapan itulah yang menghasilkan peralatan-peralatan dan berbagai sarana hidup seperti kapak dan batu di zaman dahulu hingga peralatan komputer di zaman sekarang ini, serta alat-alat yang lebih canggih (mutakhir) lagi untuk masa-masa mendatang.
Meskipun demikian, pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan tetap didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni; apa yang ingin diketahui, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan, dan bagaimana nilai pengetahuan itu. Masalah yang terakhir ini, yaitu nilai ilmu pengetahuan ber-kenaan dengan aksiologi.yang mana nilai ilmu tidak lepas dari persoalan prilaku yang sesuai dengan moralitas, berkaitan dengan hal itu, kemudian muncul dua teori yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat diukur secara etis. Teori yang dimaksud adalah Deontologis dan Teologis.
B. Rumusan Masalah
Berdasar dari uraian latar belakang sebelumnya maka masalah pokok yang dibahas dalam kajian ini adalah bagaimana aksiologi etis ilmu pengetahuan ,agar kajiannya terarah dan sistematis, berikut ini dikemukakan tiga sub masalah, yakni :
1.      Bagaimana tinjauan tentang ilmu dari segi nilai (aksiologi) ?
2.      Bagaimana pandangan filsafat terhadap Aksiologis ?
3.      Bagaimana aksiologi etis ilmu pengetahuan pada teori Deontologis dan teori Teologis?
II. PEMBAHASAN
A. Tinjauan tentang Ilmu dari segi Nilai (Aksiologi)
Kata “ilmu” secara etimologis dalam berasal dari bahasa Arab (علم) mengandung arti mengetahui, mengenal memberi tanda dan petunjuk yang berantonim dari makna naqid al-jahl (tidak tahu) Karena itu, dipahami bahwa ilmu adalah sebagai suatu pengetahuan secara praktis yang dipakai untuk menunjuk pada pengetahuan sistematis tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan subyek tertentu.untuk lebih jelasnya, perlu pula dikemukakan beberapa pendapat tentang pengertian ilmu secara terminologi.
·         John Ziman menyatakan bahwa ilmu adalah kajian tentang dunia material yang memiliki obyek tertentu.Pengertian ini mengindikasikan bahwa ilmu memiliki batasan tertentu yang harus dikelolah sehingga bermuara pada suatu pengetahuan tentang sesuatu.
·         Al-Qadhi ‘Abd. al-Jabbar bahwa العلم يقتضى سكون العالم الى ماتناوله (ilmu adalah suatu makna yang dapat menentramkan hati bagi seorang alim terhadap apa yang telah dicapainya). Pengertian ini mengindikasikan adanya ketentraman dan ketenangan jiwa apabila berhasil dalam pencariannya. Walaupun demikian, pengertian ini (menurut penulis) hanya berlaku kepada mereka yang bergelut dalam ilmu-ilmu yang bermanfaat.
·         Imam al-Gazali bahwa العلم هو حصول المثال فى القلب  (ilmu itu adalah tejadinya gambaran di dalam hati). Pengertian ini mengindikasikan bahwa gambaran esensi sesuatu itu ada di dalam hati, bukan berarti yang dimaksud di sini hanya semata-semata hati saja. Al-Gazali menganggap bahwa hati adalah bagian dariبصيرة  yang di dalamnya tercakup akal. Berdasarkan hal ini maka ia mengembalikan pengertian ilmu ke dalam dua komponen yaitu البصيرة البطنية  yaitu akal dan hati, hakikat atau esensi sesuatu sebagai obyek pokok dan cara terjadinya gambaran sesuatu itu.
·         Nurcholish Madjid salah seorang pemikir Muslim di Indonesia juga bahwa ilmu pengetahuan itu netral baik yang alamiah maupun yang sosial. Artinya tidak mengandung nilai (bebas nilai) kebaikan atau kejahatan pada dirinya sendiri. Nilainya diberikan oleh manusia yang memiliki dan menguasainya.
Apa yang dikemukakan Nurcholish Madjid di atas mengindikasikan ilmu pengetahuan berkaitan dengan aksiologi. Dalam hal ini, Aksiologi menurut bahasa berasal dari bahasa yunani “axios” yang berarti bermanfaat dan ‘logos’ berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Secara istilah, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan.Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan bahwa aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan kebenaran). Dengan demikian aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika. Dengan kata lain, apakah yang baik atau bagus itu.
Scheleer dan Langeveld (Wiramihardja, 2006: 155-157) memberikan definisi tentang aksiologi sebagai berikut. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara moral. Adapun Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek.
Kattsoff (2004: 319) mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Kattsoff (2004: 323) menyatakan bahwa pertanyaan mengenai hakekat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara yaitu:
  • Subyektivitas yatu nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung dari pengalaman. Suatu nilai menjadi suatu yang subyektif apabila sunyek berperan dalam memberikan penilaian kesadaran manusia yang menjadi tolak ukur penilaian, dengan demikian selalu memperhatiakan berbagai pandangan yang dimiliki akal manusia seperti perasaan yang mengarah suka dan tidak suka atau senang dan tidak senang.
  • Obyektivisme dikatakan obyektiv jika nilai tidak tergantung pada subyek atau kesadaran dalam menilai tolak ukur pada suatu gagasan berada pada obyeknya bukan pada subyeknya yang melakukan penilaian.obyektivitas yang logis yaitu nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Dimana seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran bersifat ideologis, agama , dan budaya.berbeda dengan Obyektivisme pada masa sekarang dimana semuanaya dipertanyakan dengan keadaan sebenarnya karena ilmu sangat berbeda sekali dengan fakta, yang bersifat obyektif dan netral tetapi ilmu adalah fakta dan penjelasan seorang ilmuan. Dalam hal ini diduga adanya kesadaran ilmuan baik yang berasal dari ideology, budaya, lingkungan social maupun agama.
Situasi nilai meliputi empat hal yaitu pertama, segi pragmatis yang merupakan suatu subyek yang memberi nilai. Kedua, segi semantis yang merupakan suatu obyek yang diberi nilai. Ketiga, suatu perbuatan penilaian. Keempat, nilai ditambah perbuatan penilaian.
Jadi Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan, sebagaimana kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil&kawasan simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri-sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu ke dalam parksis.
            Dalam pendekatan oksilogi,Al-kindi mengemukakan bahwa pada dasarnya ilmu harus digunakan & dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia.Dalam hal ini maka ilmu menurutnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat & martabat manusia serta kelestarian atau keseimbangan alam.Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh & disusun dipergunakan secara komunal & universal.Komunal berarti,bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama,setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuahannya sesuai dengan komunalisme.Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi parokial,seperti: ras,ideology atau agama.
sedangkan aksiologi menurut Ibnu Sina dapat melalui tiga cara :
·         Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai-nilai itu merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku & keberadaannya tergantung kepada pengalaman-pengalaman mereka.
·         Nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologis namun tidak terdapat dalam ruang & waktu.
·         Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis & dapat diketahui melalui akal, pendirian ini dinamakan objektivisme logis.
·         Nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan, yang demikian ini disebut objektivisme metafisik.
B. Aksiologi dalam Pandangan Aliran-aliran Filsafat
Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat, yakni :
1.  Pandangan Aksiologi Progresivisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah William James (1842-1910), Hans Vahinger, Ferdinant Sciller,  Georger Santayana, dan Jhon Dewey.Menurut progressivisme, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. dengan demikian, adanya pergaulan dalam masyarakat dapat menimbulkan nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan dan individu-individu. Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan antara manusia dan lingkungannya, baik yang terwujud sebagai lingkungan fisik maupun kebudayaan atau manusia.
2. Pandangan Aksiologi Essensialisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini   adalah  Desiderius Erasmus, John Amos Comenius (1592- 1670), John Locke (1632-1704), John Hendrick Pestalalozzi (1746-1827),  John Frederich Frobel (1782-1852), Johann Fiedirich Herbanrth (1776-1841),dan William T. Horris (1835-1909) Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan realisme karena aliran essensialisme terbina dari dua pandangan tersebut.
a. Teori nilai menurut idealisme
Idealisme berpandangan bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos karena itu seseorang dikatakan baik, jika banyak berinteraksi dalam pelaksanaan hukum-hukum itu. Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk itu, ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat menunjukkan keindahan pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.
b. Teori nilai menurut realisme
Menurut realisme, sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik dan buruknya keadaan manusia tergantung pada keturunan dan lingkungannya. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan antara pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-pengaruh lingkungannya. George Santayana memadukan pandangan idealisme dan realisme dalam suatu sintesa dengan menyatakan bahwa “nilai” itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian, dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung tinggi asas otoriter atau nilai-nilai, namun tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri
3. Pandangan Aksiologi Perenialisme
Tokoh utama aliran  ini diantaranya  Aristoteles (394 SM) St. Thomas Aquinas. Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial dan kultural yang lain. Sedangkan menyangkut nilai aliran ini memandangnya berdasarkan asas-asas ‘supernatular‘, yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu, tidak hanya ontologi, dan epistemolagi yang didasarkan pada teologi dan supernatural, tetapi juga aksiologi. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh potensi kebaikan dan keburukan yang ada pada dirinya. Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia terletak pada jiwanya. Oleh karena itulah hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya.
4. Pandangan Aksiologi Rekonslruksionisme
Aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang berusaha merombak kebudayaan modern. Sejalan dengan pandangan perenialisme yang memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan,dan kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionalisme dalam memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan kerja sama.
C.Aksiologi Etis Pada Teori Deontologi dan Teleologi
Etika atau Etis berasal dari kata Yunani ethos yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Dalam pemahaman umum, etika selalu dikaitkan dengan kebiasaan hidup yang baik, yang berlaku pada diri sendiri, dan pada masyarakat. Etika biasanya merujuk pada nilai, atau norma yang diteruskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Dalam pengertian yang lain, etika diartikan sebagai sistem atau kode yang dianut. Jadi, etika dapat diartikan sebagai filsafat tentang nilai-nilai moral, cara berpikir, sikap, adat istiadat, dan akhlak tentang baik dan buruk. Pada umumnya, etika ini banyak dikenalkan dan diajarkan dalam suatu agama, atau bahkan dapat dikatakan diajarkan dalam semua agama yang ada di dunia ini. Dengan demikian, agama menjadi sumber etika, walaupun tentu saja etika yang diajarkan akan berbeda antara satu agama dengan agama lain.
ada dua teori etika dalam kehidupan ini, yaitu etika deontologi, dan etika teleologi. Etika deontologi berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban. Oleh karena itu, etika ini menekankan orang untuk bertindak secara baik. Sebuah tindakan, menurut etika deontologi, dikatakan baik bukan karena akibat atau tujuannya baik, tetapi berdasarkan tindakan itu sendiri baik. Sedangkan etika teleologi adalah tindakan yang mengatur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu Teori ini memunculkan dua pandangan, yaitu egoisme dan utilitarianisme (utilisme). Tokoh yang mengajarkan adalah Jeremy Bentham (1742 – 1832), yang kemudian diperbaiki oleh john Stuart Mill (1806–1873).Mencuri, dalam pandangan etika teleologi tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan baik buruknya tindakan itu sendiri, melainkan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu. Tindakan seorang anak mencuri demi membayar pengobatan ibunya yang sakit parah, akan dinilai baik, dalam etika teleologi, terlepas dari kenyataan bahwa anak itu dapat dikenakan hukuman bila kedapatan mencuri.
Berbeda dengan etika teleologi, hukum mencuri dalam ajaran Islam, bukan dilihat pada tujuan yang ingin dicapai atau akibat yang ditimbulkan oleh pencurian. Dalam ajaran Islam, mencuri tetap tidak baik atau tidak beretika, karena mencuri melanggar aturan agama. Dalam Islam, bukan logika dan realitas dan akibat mencuri yang dijadikan tolok ukur seseorang dikatakan beretika atau tidak, tetapi ketaatannya pada aturan yang ditetapkan oleh agama. Bila yang dilihat lebih dahulu adalah dampak yang ditimbulkan atau akibat atau tujuan dari suatu perbuatan, maka banyak ajaran Islam yang tidak berarti lagi, bahkan akan hilang. Misalnya, seorang mencuri untuk disumbangkan kepada pembangunan masjid dinilai baik, karena tujuannya baik, maka seorang pencuri bisa jadi tetap dikatakan beretika. Atau seorang koruptor, dengan tujuan ingin disumbangkan kepada pembangunan pondok pesantren, bisa jadi dinilai tidak melanggar etika, karena tujuan yang hendak dicapainya baik.
Oleh karena itu Kaum deontology intinya berpendapat;bahwa suatu tindakan dinilai bukan dari hasil atau akibatnya,tetapi dinilai dari sifat-sifat tertentu atau tindakan serta peraturan yang mengatur itu sendiri.Artinya tindakan itu dibolehkan atau tidak dibolehkan dan tidak perlu melihat akibat-akibat yang ditimbulkannya.Sebagai contoh ekstrim dari pendapat para deontolog dalam praktik diberikan ilustrasi; jujur adalah norma moral yang harus dilakukan dan tidak perlu harus dipertimbangkan dari akibat-akibat yang mungkin ditimbulkannya. Begitu juga sikap-sikap seperti; tidak jujur, tidak setia dan sebagainya? Dengan alasan apapun, selalu hal itu tidak dapat dibenarkan. Kalau ada orang yang memperoleh keuntungan, kenikmatan, kesenangan atas perilaku tidak jujur, tidak setia dan lainnya; itu pun tetap tidak boleh dilakukan.
            Filsuf besar jerman Immanuel Kant adalah pemikir yang mengetengahkan deontologi ini. Dikatakannya; yang biasa disebut baik itu, sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik, kekayaan, kecerdasaan, dan lainnya adalah baik, apabila digunakan dengan itikad (niat) baik. Sebaliknya akan sama sekali merusak kalau disadari dengan kehendak yang buruk.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasar dari uraian-uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan hasil interaksi manusia dengan obyek tertentu menghasilkan sesuatu pengetahuan dan itulah yang disebut ilmu. Ilmu pengetahuan “bebas nilai (value free of sciences)” ia netral, dan karena ini maka ilmu tersebut berkaitan dengan pertimbangan aksiologi. Aksiolgi yang dimaksud di sini adalah cabang filsafat yang mempelajari nilai-nilai. Atau dengan kata lain aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan.
Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat. Terdapat beberapa pandangan tentang hal tersebut, misalnya pandangan aksiologi aliran progresivisme bahwa nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. Pandangan aksiologi dalam aliran essensialisme menyatakan bahwa nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan realisme. Pandangan aksiologi dalam aliran perenialisme adalah nilai berdasarkan asas-asas ‘supernatular‘, yakni menerima universal yang abadi. Pandangan aksiologi dalam aliran rekonslruksionisme memandang nilai adalah untuk memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan kerja sama.
ada dua teori etika dalam kehidupan etika deontologi, dan etika teleologi. Etika deontologi berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban. Oleh karena itu, etika ini menekankan orang untuk bertindak secara baik. Sebuah tindakan, menurut etika deontologi, dikatakan baik bukan karena akibat atau tujuannya baik, tetapi berdasarkan tindakan itu sendiri baik. Sedangkan etika teleologi adalah tindakan yang mengatur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Peradaban Islam, Jakarta, Pustaka Amani, 1994.
Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan Pengantar Mengenai Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset, 1990.
Daud, Wan Mohd. Nor Wan. The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmi, et. all dengan judul Filsafat dan Praktik Pendidi-kan Islam Syed M. Naquib al-Attas. Cet. I; Bandung: Mizan, 2003.
Ihsan, Fuad, Drs. Filsafat Ilmu, Jakarta, Rineka Cipta, 2010.
Kunarto. 1996. Etika Kepolisian. Jakarta : PT Cipta Manunggal.
M. Dahlan Yacub al-Barry, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Surabaya, Arkola, 2001.
Nata Abuddin.Drs.1997. AkhlakTasawuf. Jakarta:PT Raja Grapindo Persada.

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Heri Fadraneldi :*

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger